Showing posts with label public spaces. Show all posts
Showing posts with label public spaces. Show all posts

Refleksi atas Mal Mal di Jakarta: ‘Social Exclusion’ dan Emisi Karbon

Kemarin baru jalan jalan ke PP. Sebenarnya sudah pernah kesana sebelumnya tapi tidak pernah mengamati secara mendalam. Kali ini saya menyadari bahwa ideologi eskapisme juga hadir disana. 



(Salah satu pojok di PP: Mercusuar-mercusuaran, kapal-kapalan. Semuanya artifisial)

Salah satu simulacrum unik di Jakarta yang sering saya pikirkan adalah GI. Itu mal betul betul istana kardus kalau di cerita Mahabharata. Di dalamnya ada lampu taman, jembatan, bangku dan jalanan konblok gaya eropa, tapi ironisnya, adanya di dalam ruangan. Jembatannya jembatan jembatanan. Bangkunya juga bukan bangku fungsional yang kita di eropa biasa pakai duduk duduk waktu musim panas sambil menikmati matahari, wong udaranya dingin kering AC -- tapi sekadar bangku supaya seakan akan kita berada di tempat selain Jakarta. Sementara, kalau kita beranjak sedikit ke jendela, akan kelihatan wajah Jakarta yang sebenarnya, pemukiman kumuh, jalanan macet, kebisingan dan sesaknya udara akibat knalpot kendaraan.

 

 

 

 

 

 


(Salah satu pojok di GI: Pohon, Air Mancur, Bangku Taman, semua di dalam ruangan beratap)

Bagi saya GI (juga Ciwalk di Bandung dan Citos dsb) adalah fenomena hiperrealitas. Didalamnya ada representasi keinginan represif (atau infantil) warga kota untuk menikmati ruang publik ditambah dengan keinginan untuk melarikan diri dari penatnya kehidupan Jakarta. Tapi apabila ruang publik di eropah, Turki dan Phnom Penh adalah simbol kesetaraan -- semua orang bisa tidur di bangku taman dan menikmati matahari -- di Jakarta, ruang ruang simulacrum seperti ini ironisnya adalah simbol ketidaksetaraan. Gembel dan pedagang asongan -- walaupun tidak ada aturan tertulis -- tentunya tidak akan bisa masuk dan menikmati istana kardus di GI atau PP. Dan mereka yang mampu untuk masuk dan menikmati pun sebenarnya teralienasi, teralineasi dari kenyataan luar yang sebenarnya. Jadilah kota kota di Indonesia masyarakatnya serba teralienasi. Di Jakarta, dari berangkat pagi sampai pulang ke rumah ada jarak antara yang kaya dan yang miskin, mereka tidak pernah benar benar bertemu.

  • Mal mal di Jakarta punya prinsip 2G: Glamour dan Grandiosity.
  • Externalitas negatif mal mal di Jakarta setidaknya ada 2: “Social Exclusion” dan Emisi Karbon.
  • Kalau masuk mal, sulit membedakan siang dengan malam. Kita jadi terputus dengan waktu dan realitas alam.
  • Didalam mal, segala sesuatunya di komodifikasi, termasuk senyum dan ucapan terima kasih.

Bandingkan dengan ruang publik di negara-negara lain:

  1. Ruang Terbuka Hijau di Konya, Turki
  2. Senam Malam di Taman Kota Phnom Penh
  3. Haji Samuel, pedagang perhiasan di Dundee
  4. Not so many ways leads to riverside Tesco #Dundee

     

Ruang Terbuka Hijau di Konya, Turki

Saya terpesona sekali dengan banyaknya ruang terbuka hijau di kota Konya Turki, pusatnya para sufi. Bahkan di depan Masjid Alaaddin ini, ada taman besar dengan teater terbuka dan mainan anak-anak yang bisa dikendarai serta kereta api kereta api. Tidak jauh dari taman itu adalah Kebab Haji Sukru yang saya pernah bahas di postingan sebelumnya.

Di depan pertokoan ada pelataran pelataran besar tempat bangku bangku untuk orang duduk. Di Mesjid depan makam Rumi juga ada taman untuk orang beristirahat sejenak. Konya kotanya tidak besar, tapi tamannya banyak.