Selamat Tahun Baru 2013

@ailumulia write: When I started 2012, I made it very clear that this year will be the hard work year. The year when I must finish most of my field work, Mova must submit and defend his PhD thesis, and the year when we must maintain on and off (again) long distance relationship.

So against all temptations, I put aside desires and unrealistic plans. I said to my self, 2012 I will focus on 2 most matters in my life at this stage: my relationship with Mova and my PhD. It was not easy to focus on only 2 things, since I have million other important things. But to do/be good at these 2 are hard enough. And to maintain these 2 are my priority, at this stage.

Here we are at the end of 2012, I am so grateful for what Mova and I have achieved so far. But this year is not ending yet. To Mova and I, the real new sheet will start in February. Both Mova and I have big milestones in February. And before we pass these milestones, it is hard to speak about new resolution.

Nonetheless, expectations are hardest to kill. This evening, while looking at the last sunset of this year, I prayed for 3 kinds of improvements in me. And in these self improvements, I shall focus on my personality development in 2013.

Happy new year 2013 to those of you who celebrate. Best wishes :)

M&M

I am a Muslim in Transition

Listening to Tariq Ramadan, about Muslim around the world are loosing their identity and self confidence.. I feel it too.

Few years ago, I knew who I was as a Muslim, and persistent about it. The last few years, I have been going trough pretty significant changes. I am not so sure of who I am, or where I belong to, as a Muslim, anymore.

I am a Muslim in transition. And I am working my ways to go to the next level. I am not confused of who my God is- I am questioning the values I used to embrace. I am a Muslim in transition, I am weak and vulnerable. But I don't loose faith, I am just in transition.

Perda Air Jakarta yang Bertentangan dengan HAM

Diskursus publik atas sektor air Jakarta sering diramaikan oleh persoalan privatisasi PAM Jaya pada 1997 melalui mekanisme kontrak konsesi.Namun, sebenarnya ada persoalan yang lebih mendasar ketimbang permasalahan privatisasi semata, yakni permasalahan tata-kelola air Jakarta yang diatur lewat berbagai peraturan daerah (perda) yang secara prinsip bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

Banyak yang tidak tahu bahwa Jakarta sampai saat ini diatur oleh dua Perda Air yang dari sejak ditetapkan pada zaman Soeharto belum pernah diubah, walau sudah sangat ketinggalan zaman.Perda Nomor 13/92 tentang Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya) dan Perda Nomor 11/93 tentang Pelayanan Air Minum. Apabila tidak segera diubah, peraturan-peraturan ini akan menjadi ganjalan bagi Gubernur Jakarta Jokowi dalam melaksanakan programprogramnya bagi masyarakat miskin.

Bayangkan, dalam Perda Nomor 11/93 Pasal 21, pelanggan air minum yang telat 5 hari dalam melakukan pembayaran rekeningnya akan dikenai denda. Apabila dalam hari keenam belum juga melakukan pembayaran,maka akan dikenai pencabutan sementara. Berdasarkan pasal yang sama, apabila pelanggan menunggak dalam waktu sebulan, sambungannya akan diputus permanen. Dalam judicial review Mahkamah Konstitusi terhadap UU Air Nomor 7/2004, dan menurut General Comment 15 dari Kovenan Hak-Hak Ekonomi dan Sosial, jelas dinyatakan bahwa air merupakan HAM yang pemenuhannya wajib dilindungi oleh negara.

Alih-alih melindungi, lewat peraturan-peraturan tersebut negara bahkan secara aktif memutus hubungan warga negaranya dengan bahan dasar kehidupan tersebut hanya karena mereka tidak mampu membayar. Bahkan di negara-negara seperti Inggris, yang aset perusahaan airnya dijual penuh kepada swasta (di Jakarta aset masih dimiliki oleh PAM Jaya), terdapat perlindungan memadai terhadap golongan lemah seperti pensiunan, kaum difabel, serta golongan ekonomi tidak mampu.

Water Industry Act Inggris melarang perusahaan air swasta memutus sambungan air karena ketidakmampuan membayar para pelanggannya. Mengapa persoalan perda air yang tidak manusiawi ini tidak pernah mencuat ke permukaan, sementara kontroversi perihal air di Jakarta selalu berkisar pada persoalan privatisasi? Hal ini adalah karena persoalan tata kelola air secara umum dianggap kurang menarik perhatian publik, sementara persoalan privatisasi dianggap seksi dan kontroversial.
Hal yang juga jarang diketahui oleh publik adalah fakta bahwa sebenarnya Perda Nomor 13/92 tentang PAM Jaya bertanggung jawab terhadap privatisasi air Jakarta. Memang benar bahwa pada 1997 Soeharto membagi dua Jakarta berdasarkan sungai Ciliwung kepada kroni-kroninya untuk menjadi penerima konsesi air dari PAM Jaya.Namun, Perda Nomor 13/92 yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Dalam Pasal 15 (1) Perda Nomor 13/92 disebutkan, untuk melakukan “kerja sama” dengan pihak ketiga selama lebih dari satu tahun, direksi hanya perlu persetujuan dari gubernur.

Pasal ini kemudian dijadikan celah untuk melaksanakan perjanjian konsesi air antara PAM Jaya dengan pihak swasta selama 25 tahun. Padahal, menurut laporan Special Rapporteur PBB untuk HAM Atas Air Catarina de Albuquerque, keputusan-keputusan strategis seperti dalam melakukan privatisasi air tidak cukup hanya diputuskan oleh pihak eksekutif (seperti gubernur), melainkan memerlukan pelibatan publik dan proses politik.

Hal ini dikarenakan sifat air sebagai sumber daya yang tidak mungkin dilepaskan dari politik dan keterhubungannya dengan kewarganegaraan (citizenship). Dengan demikian, setidaktidaknya ada dua hal yang harus dilakukan oleh Gubernur Jokowi untuk mereformasi tata kelola air di Jakarta. Pertama, kewenangan PAM Jaya vis a vis operator swasta dalam memutus koneksi air karena ketidakmampuan membayar harus dievaluasi.

Kedua, aturan melakukan kerja sama dengan pihak swasta harus diperbaiki sehingga melibatkan publik. Kebijakan pemutusan air sepihak ini tidak menguntungkan siapa-siapa.Sebab apabila layanan diputus—terdesak oleh kebutuhan dasarnya—beberapa pelanggan mencuri air dengan membolongi pipa air. Hal ini berkontribusi pada kebocoran, berkurangnya tekanan air, selain juga tidak adanya pemasukan dari iuran air.

Menurut penelitian yang dilakukan Bakker dan Kooy (2008), penduduk miskin Jakarta sebenarnya bukannya tidak mampu membayar. Hal yang mereka perlukan hanyalah fleksibilitas dalam membayar, misalnya pembayaran di belakang atau pembayaran dengan cicilan dan keberadaan outlet pembayaran yang dekat rumah sehingga mereka tidak perlu bolos kerja. Hal kedua adalah Jokowi harus mengamandemen Perda Air sehingga keputusan strategis yang berkaitan dengan privatisasi harus ditempuh dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Dengan adanya ketentuan ini maka apabila kontrak konsesi selesai nanti, publik dan DPRD DKI harus sepenuhnya dilibatkan apabila terdapat rencana untuk melakukan privatisasi atau kerja sama skala besar dengan pihak swasta. Apabila Jokowi gagal melakukan kedua hal di atas, sistem pengawasan pelaksanaan HAM atas air PBB memungkinkan warga Jakarta maupun pemangku kepentingan lain untuk menyampaikan keluhan kepada Dewan HAM PBB. Keluhan dapat disampaikan langsung kepada Special Rapporteur masalah Air PBB dengan alamat email srwatsan[ at]ohchr.org.


MOHAMAD MOVA AL’AFGHANI
Kandidat Doktor Hukum Air,
UNESCO Centre for Water Law,
Policy and Science, University of Dundee, Skotlandia    

Kumpulan Tweet Fakta tentang #Rokok

Disarikan dari: Barber S and others, Tobacco economics in Indonesia (Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease, 2008)

 

Link ke Chirpstory.

Untuk download paper aslinya, silahkan klik disini.