Salah satu pertanyaan yang sering menyebabkan krisis eksistensial adalah “mengapa manusia diciptakan?”, atau why is there something rather than nothing? Ateisme dan agnostisisme – sampai saat ini – belum punya jawaban memuaskan atas pertanyaan ini. Bagi ateisme saya kira, pertanyaan mengapa tidaklah penting. Mereka merasa bahwa tanpa mempertanyakan ‘mengapa’ pun, hidup mereka nyaman nyaman saja. Tapi bagi mereka yang mempertanyakan arti kehidupan, pertanyaan ini apabila tidak bisa dijawab, akan menghadirkan krisis eksistensial. Ini karena manusia memiliki ‘sense of purpose’; ‘mengapa’ dan bukan hanya ‘apa’, adalah pertanyaan-pertanyaan yang penting untuk dijawab. Untuk menjawabnya, kita terpaksa beralih ke filsafat dan agama.
Agama mengajarkan, bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadat kepada-Nya (Wa maa khalaqtul-Jinna wal-'insa 'illa liya'-buduun). Bagi sebagian orang, jawaban ini kurang memuaskan. Apakah benar, bahwa takdir manusia untuk diciptakan hanyalah untuk menyembah Tuhan? Kenapa tidak menciptakan saja malaikat atau makhluk lainnya? Untuk mencari makna yang lebih dalam perihal ‘penciptaan’, ada satu hadist Qudsi yang sering dikutip dalam tasawwuf:
“I was a hidden treasure and I loved to be known; so I created the creatures and made Myself known to them; so they knew Me”
Dengan demikian, bagi penganut tasawwuf, tujuan ‘penciptaan’ adalah untuk mengenal Tuhan. Ibadah adalah proses dan sarana untuk mengenal Tuhan.
Saya menggunakan tanda kutip dalam kata ‘penciptaan’, karena kata itu bisa bermakna kontradiktif. Bagi sebagian orang, seluruh alam semesta ini adalah manifestasi Tuhan. Pada diri manusia pun, ada bagian yang tidak ‘diciptakan’, bagian ini yang disebut sebagai percikan cahaya ketuhanan (‘hati’).
Kosmologi sufisme cenderung kepada neoplatonisme dan panentheisme (beda dengan pantheisme, yang Tuhannya identik dengan alam). Bagi mereka hanya ada satu Realitas Utama, yaitu Tuhan. Alam ini pun manifestasi dari Tuhan. Manusia, adalah manifestasi Tuhan yang lebih tinggi dari alam, sering disebut sebagai ‘cermin’ Tuhan. Ke satu an ini adalah tawhidnya kaum mistik. Dengan demikian, alam bukanlah ciptaan Tuhan, melainkan refleksi Tuhan. Inilah yang disebut dengan Tuhan yang imanen. Imanen dalam alam dan imanen dalam hati manusia.
Namun demikian, refleksi Tuhan dalam alam tidak mencerminkan kesejatian Tuhan. Benar bahwa Tuhan termanifestasikan dalam alam, tetapi hal itu tidak sepenuhnya benar. Kisah orang buta memegang gajah sering dijadikan contoh (klik disini untuk Masnawi, Buku III: Cerita V, Elephant in the Dark Room). Kisah orang buta memegang gajah tersebut adalah kiasan tentang realitas yang parsial. Tuhan adalah Realitas yang mutlak. Lalu bagaimana caranya agar mendapat gambaran yang lebih holistik?
Sebagaimana para filsosof, kaum sufi juga menganut pemahaman Tuhan yang transenden (lepas dari bentuk tertentu dan dari pengetahuan tertentu). Tuhan para filosof yang transenden itu sama sekali bebas dari bentuk yang kita kenal, dan tidak mungkin diketahui.
Tapi disini kaum sufi berbeda pendapat dengan para filosof.
Kalau manusia adalah refleksi Tuhan dan disamping itu masih ada Tuhan lain yang transenden, maka ada dua Tuhan. Dualitas ini bertentangan dengan semangat tawhid kaum sufi bahwa Realitas yang mutlak itu hanya satu. Maka dari itu, Tuhan kaum sufi imanen, dan juga transenden.
Tapi kenapa harus ada dualitas? Mengapa yang satu itu harus termanifestasi menjadi yang banyak? Sachiko Murata dalam The Tao of Islam memberikan jawaban: “…without duality, there could be no physical universe, which depends upon multiplicity”.
Kita kembali lagi pada 4 paragraf pertama diatas tentang ‘penciptaan’. Tujuan daripada ‘penciptaan’ adalah supaya Tuhan diketahui. Tuhan bisa diketahui lewat manusia dan alam semesta. Alam semesta tidak mungkin ada apabila tidak ada dualitas.
Dr. Murata memberikan contoh dualitas dalam Asma-ul-Husna:
When God is conceived of as transcendent, He is called by such names as Mighty, Inaccessible, Great, Majestic, Compeller, Creator, Proud, All-high, King, Wrathful, Avenger, Slayer, Depriver and Harmer. The tradition calls these the Names of Severity. In the present context, I would call them "yang names", since they place stress upon greatness, power, control and masculinity. When God is understood in terms of similarity and immanence, He is called by names such as Beautiful, Near, Merciful, Compassionate, Loving, Gentle, Forgiving, Pardoner, Lifegiver, Enricher and Bestower.
Ada nama nama Tuhan yang berkonotasi positif, ada juga nama nama Tuhan yang berkonotasi negatif. Ada nama nama Tuhan yang transenden, ada juga nama nama Tuhan yang imanen. Yin dan Yang.
Supaya alam semesta ini bisa termanifestasikan, maka dualitas adalah keniscayaan. Supaya ada panas harus ada dingin. Supaya ada baik, harus ada buruk. Supaya ada miskin, harus ada kaya. Supaya ada gelap, harus ada terang. Supaya ada sehat, harus ada sakit. (Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.Quran 51:49)
Bahkan kata kata ini pun bisa dibaca karena ada dualitas. Ini dijelaskan dengan sangat baik dalam Gestalt Psychology:
Bentuk bentuk (termasuk aksara) dilahirkan karena adanya kontras. Kalau seluruh gambar diatas hanya ada “satu” warna, maka otak kita tidak bisa menghadirkan bentuk.
Bagi kaum sufi, dualitas ini juga termanifestasikan dalam diri manusia. Kedalam, terdapat Tuhan yang imanen, yang bersemayam dalam ‘hati’ manusia, yang berfungsi juga sebagai ‘cermin Tuhan’ dan karenanya harus selalu dijaga dari kekotoran. Keluar, terdapat jasmani manusia yang merupakan manifestasi dari makhluk yang fana, dan akhirnya akan musnah. Dari sisi lain, dualitas ini berfungsi sebagai penyeimbang. Ekspresi tindakan sebagai eksterior manusia harus diselaraskan dengan introspeksi interiornya. Manusia adalah khalifah dan juga pelayan Tuhan. Sebagai khalifah di muka bumi (Khalifatu fil Ardl) manusia memiliki kekuasaan lebih dari makhluk lainnya. Tapi manusia juga pelayan Tuhan. Ekspresi dari kekhalifahan ini harus diletakkan dalam konteks manusia sebagai pelayan Tuhan.
Selamat berbuka puasa!