Perjanjian Badan Publik Dengan Pihak Ketiga: Anotasi Pasal 11 ayat (1) (e) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008

Download versi PDF

Seri Anotasi: Pasal 11 (1) (e)
Draft Versi 01
15 Oktober 2012

Perjanjian Badan Publik Dengan Pihak Ketiga
Anotasi Pasal 11 ayat (1) (e) Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008

Mohamad Mova Al’Afghani

1. Latar Belakang

Pasal 11 ayat 1 Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) berbunyi:

Pasal 11

(1) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi:

a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;

b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;

c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;

d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik;

e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;

f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum;

g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau;

h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang Undang ini.

Ayat (1) (e) dari Pasal 11 tersebut memasukkan “perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga” kedalam kategori informasi yang wajib disediakan “setiap saat” oleh badan publik. Dengan demikian, Pasal 11 Ayat 1 (e) memiliki unsur-unsur sebagai berikut: (1) Badan Publik, (2) Informasi Publik, (3) setiap saat, (4) Perjanjian dan (5) Pihak Ketiga. Makalah ini hanya akan membahas unsur (3)-(5) karena unsur-unsur lainnya sebaiknya dibahas dalam anotasi Pasal lain secara komprehensif.

Selanjutnya, makalah ini akan membahas permasalahan penerapan Pasal 11 (1) (e) ini dalam kasus-kasus di Komisi Informasi Pusat. Komparasi dengan negara lain akan dilakukan secara ad-hoc.


2. Uraian unsur-unsur

a. Pengertian “setiap saat”

UU KIP membedakan setidaknya empat macam kategori informasi: informasi yang wajib tersedia setiap saat (Pasal 11), informasi yang wajib diumumkan sertamerta (Pasal 10), Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala (Pasal 9) dan Informasi yang wajib diberikan atas dasar Permintaan (Bab VI). Secara teoritis, informasi yang wajib tersedia setiap saat, sertamerta dan berkala tergolong kedalam “active disclosure”, sementara informasi yang wajib dibuka berdasarkan permintaan tergelong kedalam “passive disclosure”.[1] Pembedaan ini dilakukan berdasarkan inisiatif pembukaan informasi dilihat dari posisi badan publik.

Dalam hal informasi sertamerta, penjelasan Pasal 10 menyatakan bahwa “…yang dimaksud dengan “sertamerta” adalah spontan, pada saat itu juga”. Sementara Pasal 10 sendiri mengatakan bahwa yang wajib diumumkan secara sertamerta adalah informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan [atau?] ketertiban umum. Dengan demikian, informasi ini berhubungan erat dengan situasi darurat dan perundangan kebencanaan dan peraturan sektoral lainnya.[2]

Informasi berkala memiliki ciri terdapatnya kewajiban periodikal dalam mengumumkan informasi tersebut. Dalam UU KIP, kewajiban ini berlaku satu kali setiap 6 (enam) bulan. Dari informasi yang disebutkan dalam Pasal 6, seperti informasi perihal kegiatan, kinerja dan laporan keuangan Badan Publik, kelihatan badan informasi berkala ini dimaksudkan untuk menunjang akuntabilitas dan proforma Badan Publik dalam kesehariannya.

Perihal informasi yang wajib tersedia “setiap saat”, Buku Anotasi UU KIP yang dibuat oleh KIP dan ICEL telah menjelaskan dengan cukup komprehensif.[3] Namun demikian, masih terdapat ketidakjelasan apakah permintaan informasi diperlukan untuk mengakses informasi yang wajib tersedia “setiap saat” ini. Menurut Buku Anotasi UU KIP: “Sesuai dengan asas akses informasi yang cepat dan tepat waktu serta cara sederhana, maka informasi jenis ini dapat saja disediakan secara proaktif oleh badan publik tanpa harus menunggu adanya permintaan.”.[4] Kata dapat saja dalam kalimat diatas memberikan kesan bahwa sifat “active disclosure” dalam kategori informasi ini tidak bersifat imperatif, melainkan fakultatif saja. Dalam artian, untuk memperoleh informasi ini pun mungkin masih diperlukan usaha dari publik untuk meminta informasi tersebut sebagaimana diatur dalam Bab VI UU KIP.

Apabila diinterpretasikan secara sistematik dengan melihat pada judul Pasal dan Bab, maka akan kelihatan juga bahwa terdapat inkonsistensi tentang sifat “active disclosure” dari informasi yang wajib tersedia setiap saat ini. Misalnya, judul dari Bab IV adalah “Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan” (garisbawah oleh penulis). Peng-umum-an suatu informasi oleh badan publik merupakan sesuatu yang bersifat aktif. Namun demikian, hanya judul pasal 9 (informasi berkala) dan 10 (informasi sertamerta) yang mengandung kata “diumumkan”, sementara Pasal 11 mengenai informasi setiap saat tidak harus diumumkan. Buku Anotasi UU KIP juga mencatat inkonsistensi ini dalam pembahasa RUU KIP di DPR:[5]

“Jadi, pada intinya, Pemerintah ingin mengganti frasa “setiap saat” dengan frasa “dapat diakses,” tetapi keterbukaannya tergantung dari klasifikasi informasi itu sendiri. Apabila ‘setiap saat’ dia akan diumumkan setiap saat, kalau kategorinya adalah ‘serta-merta’ dia di serta merta, ‘berkala’ adalah berkala atas permintaan disana juga.”

Dalam kutipan diatas terdapat kesan bahwa dalam hal informasi setiap saat, terdapat aspirasi bahwa dia akan diumumkan setiap saat. Namun demikian, sebagaimana telah dibahas diatas, judul Pasal 11 tidak mengandung kata “diumumkan” dan Buku Anotasi KIP sendiri memberikan tafsiran bahwa penyediaan informasi tersebut “dapat saja” dilakukan secara proaktif, atau dengan kata lain, tidak harus proaktif walaupun hal itu lebih baik.[6]

Apabila tidak ada kewajiban tegas “active disclosure” terhadap informasi dalam Pasal 11, lalu apa bedanya informasi dalam Pasal 11 dengan informasi lainnya yang dapat diperoleh melalui mekanisme permintaan (Pasal 22)? Dari isi Pasal, kelihatan bahwa pembedaannya adalah adanya kewajiban produksi informasi kepada Badan Publik, misalnya produksi daftar informasi, produksi informasi prosedur kerja, produksi laporan akses pelayanan informasi dan sebagainya. Sedangkan persamaannya adalah bahwa tidak ada kewajiban “active disclosure” terhadap informasi tersebut. Terhadap perjanjian dengan pihak ketiga, pencantuman dalam Pasal 11 ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh apapun. Toh, apabila tidak ada Pasal 11 (1) e, tetap saja perjanjian dengan pihak ketiga merupakan dokumen yang dikuasai oleh badan publik yang dapat diminta untuk dibuka oleh publik.

Dengan tidak tegasnya pengaturan “active disclosure” dalam Pasal 11, seluruh kategori informasi dalam pasal tersebut, termasuk perjanjian dengan pihak ketiga, masih harus dimintakan kembali lewat mekanisme permintaan informasi dalam Pasal 22 agar dapat dibuka ke publik.

b. Pengertian “Perjanjian”

i. Perjanjian menurut Burgerlijk Wetboek

Perjanjian (dalam Pasal 1313 Burgerlijk Wetboek) termasuk dalam Buku Ketiga BW mengenai Perikatan. Perikatan dapat timbul karena Undang-Undang, maupun karena persetujuan kedua belah pihak. Perikatan yang timbul karena persetujuan kedua belah pihak inilah yang disebut dengan “Perjanjian”. Dengan demikian, konsep perikatan lebih luas dari perjanjian. Walau demikian, hanya “perjanjian” yang dicakup dalam Pasal 11 (1) e UU KIP, bukan bentuk perikatan lainnya.

Pasal 1313 BW berbunyi sebagai berikut:

Suatu persetujuan (Perjanjian) adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Sedangkan mengenai syarat sah-nya perjanjian, BW Pasal 1320 menyatakan:

“Supaya terjadi persetujuan (Perjanjian) yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

a. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu pokok persoalan tertentu;

d. suatu sebab yang tidak terlarang.”

Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa Perjanjian dalam BW tidak terdapat kewajiban harus tertulis, melainkan juga dapat dilakukan secara lisan. Berhubung UU KIP Pasal 11 ayat 1 (e) tidak membedakan antara perjanjian lisan dan tertulis, maka kedua bentuk perjanjian tersebut wajib dibuka apabila diminta oleh publik.

Dalam hubungan bisnis banyak perjanjian yang dituangkan secara lisan, misalnya melalui percakapan telepon. Yang menarik adalah, apakah perjanjian-perjanjian lisan dalam hubungan bisnis sehari hari seperti itu juga wajib dibuka kepada publik? Karena UU KIP tidak membedakan perjanjian lisan dengan tertulis, maka perjanjian yang demikian juga termasuk kedalam informasi yang wajib tersedia “setiap saat”. Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana sesuatu yang lisan sifatnya dapat tersedia setiap saat?

Pengertian “Perjanjian” disini mencakup annex, addendum, lampiran maupun protokol-protokol pelaksanaan terlepas apapun pengistilahannya. Memorandum of Understanding atau Nota Kesepahaman tidak termasuk kedalam pengertian “Perjanjian”, bahkan dapat dikecualikan oleh Pasal 17 (i) UU KIP.[7]

ii. Perjanjian Perdata yang memiliki sifat publik

Dalam beberapa tradisi hukum administrasi, dikenal adanya penyerahan kewenangan penyelenggaraan sektor pemerintahan atau pelayanan publik kepada pihak ketiga, yang disebut dengan “delegasi”. Salah satu bentuk delegasi yang berbentuk perjanjian adalah Konsesi.

Menurut Prajudi, konsesi merupakan kombinasi dari izin dan dispensasi yang diikuti oleh pelimpahan kewenangan pemerintahan secara terbatas kepada penerima konsesi. Ini berbeda dari pengertian konsesi secara umum yang dianut oleh lembaga keuangan seperti World Bank. [8] Dalam tulisannya, Prajudi telah memberikan peringatan bahwa sistem konsesi rawan untuk disalah gunakan, karena besarnya kekuasaan yang dimiliki penerima konsesi.[9] Prajudi memberikan contoh dimana beberapa konsesi memberikan penerimanya kewenangan untuk membuat lapangan terbang, merelokasi penduduk, membentuk satuan pengamanan internal, dan membangun infrastruktur seperti telepon, jalan-jalan dan pembangkit listrik.[10]

Syarifudin[11] menganggap bahwa tugas tugas yang diemban oleh penerima konsesi dan tercantum dalam perjanjian konsesi pada hakekatnya merupakan tugas tugas pemerintahan. Dengan demikian, menurut Syarifuddn, penerima konsesi dapat dianggap sebagai pejabat publik yang mengerjakan tugas tugas pemerintahan.[12] Apabila penerima konsesi merupakan pejabat publik menurut teori hukum administrasi negara, maka keputusan pejabat konsesi merupakan keputusan Tata Usaha Negara yang dapat dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Instrumen delegasinya sendiri – yang berbentuk kontrak konsesi – pada hakekatnya merupakan bentuk lain dari kombinasi izin, dispensasi dan delegasi, yang mana pada hakikatnya merupakan dokumen publik. Namun demikian, para penulis kontemporer seperti Simatupang beranggapan bahwa kontrak konsesi bukan merupakan Keputusan TUN yang bisa ditelaah oleh Pengadilan TUN.[13]

Para ahli administrasi negara membedakan antara kontrak kontrak yang memiliki dimensi publik – seperti konsesi yang didalamnya terdapat delegasi kewenangan – dengan kontrak kontrak perdata murni yang tidak memiliki aspek delegasi. Menurut Hadjon[14] dkk, kontrak kontrak dimana negara menundukkan dirinya secara privat dan bertingkah laku seperti layaknya subyek hukum perdata lainnya, seperti kontrak kontrak jual-beli, sewa-menyewa atau pengalihan aset tidak tunduk kepada hukum publik, walaupun menkanismenya bisa didahului oleh dan diatur dalam aturan pemerintahan mengenai penggunaan anggaran negara atau penggunaan aset negara.[15] Walupun kontrak kontrak teersebut didahului oleh keputusan TUN, menurut UU PTUN keputusan termaksud tidak termasuk kedalam yurisdiksi TUN.[16]

Akibat hukum dari penerimaan delegasi ini setidaknya ada dua. Pertama, pihak swasta penerima delegasi sejauh melaksanakan kewenangan yang diperolehnya dari pemerintah merupakan pejabat publik yang putusannya secara teoritis dapat dikategorikan sebagai putusan TUN dan jabatannya dianggap sebagai Badan Publik. Kedua, dokumen dimana didalamnya terdapat delegasi kewenangan tersebut – secara teoritis – dapat dikategorikan sebagai dokumen publik, baik karena isinya maupun karena penerima delegasinya merupakan Badan Publik.

Sistem pengadaan barang dan jasa tidak menjadi penentu apakah suatu kontrak berisi delegasi kewenangan pemerintahan ataupun tidak. Yang dapat menjadi patokan adalah isinya sendiri. Apabila suatu kontrak mengandung kewenangan yang bersumber dari hukum publik, baik itu peraturan perundang-undangan maupun keputusan TUN yang mana kekuasaan pihak yang berkontrak tersebut menjadi hilang apabila hukum publik yang menjadi sumber kewenangannya dicabut, maka kontrak tersebut berisi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan.

3. Pengertian “Pihak Ketiga”

Rumusan “…perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga” dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP sebenarnya terkesan aneh. Suatu perjanjian hanya dapat terjadi apabila setidak tidaknya terdapat dua pihak dimana tercapai kata sepakat.[17] Dengan demikian, tidak dimungkinkan terjadi perjanjian apabila hanya dilakukan oleh satu pihak. Lantas, siapa yang dimaksud dengan “Pihak Ketiga” dalam Pasal tersebut? UU KIP tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “Pihak Ketiga”.

Celah ini pernah diangkat dalam perkara yang melibatkan Kementrian PU, dimana saksi ahli dari termohon mengatakan bahwa Perjanjian yang dimaksud hanya melibatkan dua pihak, yakni antara pengguna jasa sebagai pihak pertama dan penyedia jasa sebagai pihak kedua dan bukan dengan“pihak ketiga”.[18] Tentu saja, sebagaimana diutarakan oleh KIP dalam putusannya, maksud dari UU KIP disini mungkin adalah bahwa “pihak ketiga” merupakan “pihak lain” dimana Badan Publik melakukan hubungan hukum.[19] Namun demikian, interpretasi ini juga kurang memuaskan, karena dalam melakukan hubungan hukum atau perjanjian, sudah pasti harus dengan pihak lain.

Sebagai perbandingan, FoI Act Commonwealth (Australia) memberikan definisi “Commonwealth Contracts” sebagai berikut[20]:

Commonwealth contract means a contract to which all of the following apply:
a. the Commonwealth, Norfolk Island or an agency is, or was, a party to the contract;
b. under the contract, services are, or were, to be provided:
i. by another party; and
ii. for or on behalf of an agency; and
iii. to a person who is not the Commonwealth, Norfolk Island or an agency;
the services are in connection with the performance of the functions, or the exercise of the powers, of an agency.”

Definisi diatas berlaku secara kumulatif dan dengan adanya kumulasi ini, penafsiran tentang kontrak mana yang tercakup dalam FoI Act menjadi lebih restriktif. Hal ini karena terdapat kewajiban disclosure yang lebih berat dalam FoI Act (Commonwealth) Australia. Butir a memberikan kewajiban bahwa badan publik harus menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, definisi b memastikan bahwa prestasi perjanjian itu tidak dilakukan oleh dirinya sendiri melainkan oleh pihak lain dan butir c berkenaan dengan sumber kewenangan melakukan perjanjian.

Adapun kewajiban tambahan dalam FoI Act (Commonwealth) Australia adalah sebagai berikut:

6C Requirement for Commonwealth contracts

(1) This section applies to an agency if a service is, or is to be, provided under a Commonwealth contract in connection with the performance of the functions or the exercise of the powers of the

agency.

(2) The agency must take contractual measures to ensure that the agency receives a document if:

(a) the document is created by, or is in the possession of:

(i) a contracted service provider for the Commonwealth contract; or

(ii) a subcontractor for the Commonwealth contract; and (b) the document relates to the performance of the Commonwealth contract (and not to the entry into that contract); and

(c) the agency receives a request for access to the document”.[21]

Dengan demikian, kewajiban Badan Publik di Commonwealth Australia tidak terhenti pada penyediaan kontrak-kontrak dimana mereka menjadi pihaknya, melainkan juga terhadap dokumen-dokumen lain yang berada dalam penguasaan penyedia barang dan jasa sejauhmana hal tersebut berhubungan dengan proforma dan akuntabilitas badan publik dimaksud, atau apabila badan publik dimaksud mendapat permintaan akses informasi dari khayalak.

Secara filosofis, Pasal 6c dari FoI Act ini memberikan akses informasi dan akuntabilitas terhadap pelimpahan kewenangan dari badan publik kepada pihak lain. Adapun metodologi perlindungan akses ini dilakukan dengan instrumen keperdataan; hal mana dikenal dalam teori hukum sebagai “private ordering”, yakni menggunakan instrumen hukum privat untuk menegakkan hukum publik.

4. Penerapan Dalam Kasus

a. Soal “Pacta Sunt Servanda” dan Pasal 1338

Hampir dalam setiap kasus yang melibatkan perjanjian Badan Publik, Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dikutip oleh Termohon.[22] Termohon seringkali beranggapan bahwa dengan adanya pasal tersebut maka perjanjian yang mereka buat bersifat lex specialis sehingga dapat mengesampingkan undang-undang KIP.[23] Dalam setiap kasus kasus ini, KIP telah memberikan putusan-putusan yang bijak,[24] namun demikian layak untuk kita bahas secara mendalam agar argumentasi-argumentasi semacam ini tidak terjadi lagi, sebab hanya akan membuang-buang waktu saja.

Anggapan ini mungkin terjadi akibat salah paham dari pembacaan Pasal 1338 BW, karena terjemahan yang banyak beredar sekarang ini diterjemahkan dari Bahasa Belanda kedalam Bahasa Indonesia puluhan tahun yang lalu sedangkan versi aslinya sulit dijumpai. Versi aslinya, yang juga identik dengan Pasal 1374 lid 1 BW Belanda versi lama berbunyi: "Alle wettiglijk gemaakte overeenkomsten strekken dengenen die dezelve hebben aangegaan tot wet". “Wet” dalam kata inilah yang kemudian diterjemahkan dengan “undang-undang”. Namun demikian, “wet” disini sebenarnya tidak dalam arti kata formil, atau Undang-Undang yang terdapat dalam hierarki peraturan perundang-undangan Pasal 7 (1) b dari UU 10/2004[25] melainkan dalam arti hukum yang berlaku mengikat.

Terjemahan lain dari Pasal ini kedalam bahasa Inggris adalah: “All legally made agreements have the force of law to the agreeing parties”.[26] Terjemahan ini lebih tepat karena lebih merefleksikan prinsip “kekuatan mengikat” yang mana merupakan salah satu bagian dari prinsip Pacta Sunt Servanda.[27] Hal ini ditegaskan oleh Hartogh: “Public legislation does not create the power of “private legislation”,but only specifies the condition of its enforceability.[28] Maka jelaslah bahwa pasal 1338 BW bukan berarti ada undang undang tersendiri antara para pihak, apalagi kalau sampai ditafsirkan undang undang ini bisa menyimpangi ketentuan UU KIP. Maksud dari Pasal tersebut adalah bahwa penegakannya nanti akan dilakukan sebagaimana layaknya penegakan undang-undang.

Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini maka adalah sebagai berikut: “Seluruh perjanjian yang dibuat berdasarkan undang undang memiliki kekuatan hukum bagi para pembuatnya”. Jadi sebenarnya kata undang-undang dalam terjemahan lama BW tersebut lebih kontekstual apabila diterjemahkan kedalam kata “hukum”.

Perlu dicermati, bahwa sebenarnya Pasal sebelumnya (Pasal 1337) berbunyi: “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.” Ketentuan pasal ini hendaknya dibaca bersamaan dengan Pasal 1320 yang mensyaratkan bahwa perjanjian hanya sah apabila didasarkan pada “suatu sebab yang tidak terlarang.” Yang menarik didiskusikan disini adalah apakah “klausula kerahasiaan” merupakan sebab yang dilarang oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1337 jo Pasal 1320?

b. Klausula Kerahasiaan dan Akibat Hukumnya

Salah satu kekhawatiran dari Termohon yang cukup valid adalah kekhawatiran akan gugatan wanprestasi akibat dibukanya “perjanjian dengan pihak ketiga”.[29] Dalam hal ini, prestasi yang diperjanjikan oleh pemohon tertuang dalam klausula kerahasiaan, yakni prestasi untuk tidak membuka perjanjian dan/atau informasi yang timbul akibat dari perjanjian. Salah satu contoh klausula kerahasiaan yang cukup luas tertuang dalam Kontrak Kerjasama Antara PAM Jaya dengan Mitra Swasta, Pasal 47 ayat 1 sebagai berikut[30]:

“Para pihak, pejabat, direktur, pakar dan/atau karyawan dan agen masing-masing Pihak wajib menjaga kerahasiaan seluruh informasi komersial dan teknis yang mereka miliki dan peroleh dari masing-masing Pihak, serta dilarang menggunakan informasi tersebut selain untuk tujuan-tujuan yang dimaksudkan dalam Perjanjian ini, kecuali untuk informasi yang dikategori sebagai:

a. informasi yang telah dikuasai/dimiliki oleh satu Pihak, kecuali jika sepatutnya telah diketahui oleh Pihak tersebut bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang bersifat rahasia bagi Pihak lainnya;

b. informasi yang telah diketahui umum pada saat pengungkapannya berdasarkan Perjanjian ini; dan

c. informasi yang setelah pengungkapannya berdasarkan Perjanjian ini menjadi informasi umum.”

Istilah dari “seluruh informasi komersial dan teknis” ini sangat luas dan dapat melingkupi perjanjian itu sendiri maupun informasi lainnya yang dihasilkan dari perjanjian kerjasama.[31]

Pendapat termohon bahwasanya gugatan wanprestasi dapat timbul atas dibukanya perjanjian ada benarnya. Dari satu sudut pandang, klausula kerahasiaan merupakan suatu prestasi atau janji untuk tidak melakukan hal tertentu yang harus ditepati oleh suatu Badan Publik. Apabila Badan Publik yang bersangkutan melanggar janji ini, maka dapat digugat oleh pihak lainnya dalam perjanjian.

Namun demikian, sebelum memutuskan persoalan yang berkaitan dengan klausula kerahasiaan, Badan Publik atau KI sebaiknya melihat dulu secara seksama model dari klausulanya. Model klausula kerahasiaan bermacam-macam, ada yang bersifat resiprokal, atau berlaku bagi kedua belah pihak – seperti pada kasus Kruha vs PAM Jaya diatas[32] -- atau hanya berlaku satu arah, misalnya pada Model Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Nasional:
Clause 3.2:[33]

The Contractor, Subcontractor (if any) and Personnel without prior written approval from the CO, shall be forbidden during the Contract Period and for a certain period of time afterward as determined in the SCC, to:

(a) use the Contract Document or any other document/information produced by the contractor work for purposes other than for the execution of this Contract;

(b) disclose the above said documents/information to any third party.

Dalam model klausul diatas, kewajiban kerahasiaan hanya berlaku satu arah yakni bagi kontraktor dan subkontraktor, namun tidak bagi badan publik.

Apabila klausulanya berlaku resiprokal – seperti pada kasus Kruha vs PAM Jaya diatas-- memang benar bahwa Badan Publik seperti PAM Jaya dapat digugat oleh pihak lain dalam kontraknya. Dalam hal ini KI tidak memiliki yurisdiksi atas proses peradilan antara Badan Publik dengan pihak yang berkontrak dengannya dan tidak akan dapat memberikan jaminan bahwa Badan Publik yang bersengketa akan dimenangkan atas keputusannya membuka informasi.

Namun demikian, forum penyelesaian sengketa yang dipilih dalam kontrak, baik itu badan arbitrase maupun pengadilan seharusnya mengacu kepada keputusan KIP. Hal ini adalah karena klausula kerahasiaan dalam konteks tertentu menjadi tidak sesuai dengan Undang-Undang. Seperti dibahas diatas, BW Pasal 1337 melarang suatu sebab apabila sebab itu dilarang oleh Undang-Undang. Pemberlakuan klausula kerahasiaan yang melanggar UU KIP (misalnya karena tidak sesuai dengan uji konsekuensi dan uji kepentingan publik) tentunya merupakan causa yang dilarang dan karenanya pengadilan perdata berkewajiban untuk tidak menegakkannya. Dengan demikian, idealnya tercapailah kepastian hukum antara sengketa informasi di KIP maupun Pengadilan dengan sengketa kontrak di Pengadilan Perdata.

Terlepas dari uraian diatas, tetap tidak ada jaminan bahwa pengadilan perdata akan mengacu pada UU KIP maupun Putusan KI. Terlebih lagi, karena tidak tegasnya “active disclosure” dalam Pasal 11 ayat 1 (e), Badan Publik akan cenderung ragu-ragu dalam mempergunakan diskresinya untuk membuka dokumen kontrak dan ini akan menyebabkan kasus-kasus serupa yang berhubungan dengan perjanjian Badan Publik dibawa ke KI.

Untuk menghindari gugatan wanprestasi dan untuk mengurangi tumpukan kasus serupa akibat keraguan Badan Publik dalam membuka kontrak, maka perlu diperlukan langkah-langkah strategis sebagaimana akan dibahas berikut.

c. Solusi atas gugatan wanprestasi yang disebabkan atas klausula kerahasiaan

Ada dua solusi utama bagi permasalahan gugatan wanprestasi terhadap Badan Publik yang menaati UU KIP, namun solusi ini bersifat ex-post-facto. Pertama adalah ketegasan active disclosure pembukaan kontrak dalam peraturan perundang-undangan maupun kebijakan dan kedua adalah keharusan bagi Badan Publik untuk membuat klausula FoI Waiver, yakni pengecualian keberlakuan klausula kerahasiaan apabila ada permintaan akses informasi atau apabila ada kewajiban hukum lainnya untuk membuka kontrak. Karena permasalahannya sering didapatkan pada kontrak pengadaan barang dan jasa, idealnya FoI Waiver Clause ini dimasukkan sebagai kewajiban peraturan pengadaan barang dan jasa serta dalam model dokumen kontrak pengadaan barang dan jasa.

Contoh negara yang telah melaksanakan pembukaan kontrak seperti ini adalah Victoria, Australia, , pemerintah New South Wales dan Pemerintah Federal Australia.[34] Pada tahun 2000, Perdana Menteri Victoria mewajibkan pembukaan dokumen kontrak yang bernilai lebih dari 100.000 dollar Australia ke domain publik. [35] Seluruh kontrak-kontrak ini kemudian didokumentasikan kedalam Contract Publishing System (CPS) yang mana dapat diakses oleh siapapun melalui internet.[36]

Kewajiban pembukaan kontrak di Victoria, Australia juga tertuang dalam kewajiban pelaporan keuangan badan publik yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan Victoria lewat Directive FRD 12A[37] “Disclosure of Major Contracts”. Direktif ini mengacu pada Bracks’ policy statement[38] dan pedoman implementasinya[39]

Kebijakan pembukaan kontrak oleh PM Bracks ini membolehkan penghitaman pada kontrak kontrak yang dibuka dengan berpedoman pada Undang Undang FoI Victoria dan keputusan-keputusan sengketa informasi dari Victoria Civil and Administrative Tribunal’s (VCAT) decisions. Selanjutnya, apabila dilakukan penghitaman pada kalimat-kalimat kontrak, maka penghitaman tersebut harus disertai alasannya.[40] Ada tiga alasan utama untuk dilakukannya penghitaman: (1) rahasia dagang, (2) rahasia bisnis (3) materi yang pembukaannya dapat mencederai kepentingan publik. Rahasia bisnis adalah informasi yang “likely to expose [a private sector contractor] unreasonably to disadvantage”.[41] Penghitaman ini hanya berlaku bagi enam bilan dan setelahnya ahrus dibuka secara penuh.[42]

Selanjutnya, kebijakan pembukaan kontrak ini diintegrasikan pula dalam kebijakan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah di Victoria.[43] Peraturan pengadaan barang dan jasa di tingkat federal Australia juga tunduk pada ketentuan serupa.

Dalam kontrak pengadaan desalinasi air antara Pemerintah Victoria dengan Aquasure (kontrak mana dapat diunduh di Contract Publishing System Victoria), terdapat klausula kerahasiaan sebagai berikut[44]:

“14.1 Keep Confidential
Subject to clauses 14.2, 14.3 and 14.4, each of the D&C Contractor, the D&C Guarantor and the Independent Reviewer & Environmental Auditor must keep the contents of this deed and all documents and information made available to it under, or in connection with, or in the course of the performance of, this deed or any other Project Document, confidential and must not disclose the same to any other person without the prior written consent of the other party.

Sedangkan FoI Waiver Clausenya berbunyi:

14.4Public disclosure

a. Project Co, the D&C Contractor, the D&C Guarantor and the Independent Reviewer & Environmental Auditor acknowledge and agree that disclosure by the State, the Minister or any Government Agency may be required:

i. under the Freedom oflnformation Act 1982 (Vie);

ii. under the Ombudsman Act 1973 (Vie); or

iii. to satisfy the disclosure requirements of the Victorian Auditor General, the requirements of Government policy concerning Partnerships Victoria projects, or to satisfy the requirements of Parliamentary accountability; and

iv. in the case of the Minister, to fulfil his or her duties of office.

Dapat disimpulkan bahwa melalui kebijakan pembukaan kontrak ini, FoI Act di Victoria sangat terintegrasi kedalam setidak-tidaknya tiga macam kebijakan dan peraturan sektoral: Pertama adalah policy intention dari PM Bracks, kedua adalah kebijakan pengadaan barang dan jasa dan ketiga adalah kewajiban pelaporan keuangan barang dan jasa FRD12A.

Berhubung kebijakan pembukaan kontrak menjadi bagian dari peraturan pelaporan keuangan FRD12A, maka Auditor-General dari Victoria (fungsinya ekivalen dengan Badan Pemeriksa Keungan dan BPKP) memiliki kewajiban untuk melakukan evaluasi terhadap kepatuhan Badan Publik di Victoria atas kebijakan tersebut.[45] Dengan demikian, garda terdepan dalam transparansi di Victoria tidak berpusat di satu institusi seperti Komisi Informasi (Victoria bahkan tidak memiliki Komisi Informasi), melainkan merata di setiap institusi.

5. Kesimpulan

Didalam makalah ini terlah diuraikan unsur-unsur dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP dan hubungannya dengan pasal pasal dalam peraturan lainnya. Sebagaimana dibahas, terdapat beberapa kesalahpahaman tentang penafsiran pasal 1338 BW yang ditemukan dalam praktek dan diklarifikasikan lewat makalah ini. Terakhir, makalah ini juga menyoroti pentingnya integrasi antara passive disclosure rule lewat hak akses informasi dengan active disclosure rule.

Kewajiban active disclosure pembukaan kontrak dalam Pasal 11 ayat 1 (e) UU KIP dinilai tidak tegas dan tidak strategis. Oleh sebab itu konstruksi yang ada sekarang ini akan mengakibatkan keraguan dari sisi badan publik, tumpukan kasus pada Komisi Informasi dan kemungkinan gugatan wanprestasi.

Untuk menanggulangi hal-hal diatas, makalah ini merekomendasikan integrasi lebih lanjut kebijakan active disclosure kontrak dalam UU KIP kedalam peraturan sektoral, seperti peraturan pengadaan barang dan aturan pelaporan keuangan badan publik. Komisi Informasi tidak akan mampu untuk bekerja sendirian dalam garda terdepan transparansi di Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan transparansi perlu diinstutionalisasikan kepada peraturan sektoral dan lembaga negara lainnya.

Terhadap kemungkinan gugatan wanprestasi akibat klausula kerahasiaan, makalah ini merekomendasikan agar peraturan pengadaan barang dan jasa memuat model klausula FoI waiver dan mewajibkan Badan Publik untuk mengadopsinya. Dengan metoda ini, tidak ada lagi alasan kekhawatiran akan gugatan wanprestasi karena secara perdata semua pihak yang akan berkontrak dengan pemerintah wajib membuka kontrak dan dokumen lainnya yang berkenaan.


[1] Al'Afghani, M.M., ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in Water Utilities Regulation’ (PhD Thesis, University of Dundee 2012) Lihat Analytical Framework (Bab II); Lihat juga Al'Afghani, M.M., ‘The transparency agenda in water utilities regulation and the role of freedom of information: England and Jakarta case studies’ 20 Journal of Water Law 129.

[2] Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana ; dalam hal kontaminasi air, lihat juga Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Pasal 68 (2) (b) perihal kewajiban Penyelenggara Air Minum untuk memberikan informasi perihal keadaan khusus

[3] Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, Anotasi Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (1st edn, Indonesian Center for Environmental Law dan Yayasan Tifa 2009)

[4] Ibid hal 144

[5] Ibid hal 142

[6] Ibid hal 144

[7] Undang Undang No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 17 i

[8] Dalam artian umum, konsesi, bersama affermage dan kontrak manajemen sering diartikan sebagai model dari partisipasi sektor privat. Menurut World Bank, sebuah Konsesi, “…gives a private operator responsibility not only for the operation and maintenance of assets but also for financing and managing investment. Asset ownership typically rests with the government from a legal perspective, however, and rights to all the assets, including those created by the operator, typically revert to the government when the arrangement ends—often after 25 or 30 years.” Lihat Public-Private Infrastructure Advisory Facility, Approaches to private participation in water services : a toolkit (International Bank for Reconstruction and Development and the World Bank 2006) p. 10 Namun demikian, sebenarnya pengertian konsesi yang diambil dari sistem hukum Perancis oleh World Bank ini terkandung delegasi kekuasaan pemerintahan. Karakter delegasi tersebut jarang didiskusikan oleh lembaga keuangan internasional.

[9] Atmosudirdjo, P., Hukum administrasi negara (Ghalia Indonesia 1981) at p.98-99

[10] Ibid at p 98

[11] Syafrudin, “Perizinan Untuk Berbagai Kegiatan”, tidak dipublikasikan, sebagaimana dikutip oleh Pudyatmoko dalam Pudyatmoko, Y.S., Perizinan: Problem dan Upaya Pembenahan (Grasindo 2009)

[12] Marbun, S.F., Peradilan administrasi negara dan upaya administratif di Indonesia (UII Press 2003) p.60

[13] Simatupang, D.P., Jawaban Tentang Konsesi (Email Correspondence 2011)

[14] Hadjon, P.M. and others, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to Indonesian Administrative Law) (Gadjah Mada University Press 1993) p. 166-167

[15] ibid p. 166-167

[16] Undang Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Article 2.b. Pasal ini mengecualikan tindakan perdata dan penjelasannya mengacu pada kegiatan jual beli biasa. Pasal ini dan penjelasannya tidak mengatur perihal tindakan perdata yng didalamnya terkandung delegasi kewenangan.

[17] Indonesian Civil Code, the "Burgerlijk Wetboek" Pasal 1320 a

[18] Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 361/X/KIP/PS-M-A/2011, Antoni Fernando vs Kementrian Pekerjaan Umum (Kemen-PU) Lihat 3.2 butir 4

[19] Ibid Lihat 4.32

[20] Freedom of Information Act 1982, Act No. 3 of 1982 as amended s.4 (interpretation)

[21] Ibid s.6c

[22] Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 197/VI/KIP-PS-M-A/2011, Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) vs Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen-ESDM) LPAW vs BHP, Keputusan Komisi Informasi Pusat No 001/VII/KIP-PS-A/2010, October 7th, 2010 Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 356/IX/KIP-PS-M-A/2011, Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) vs Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor:391 / XIl/ KIP-PS-M-A/:2011 LSM Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (Kruha) vs Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta (PAM Jaya)

[23] Lihat 4.15-4.16

[24] Lihat misalnya ibid para 4.16

[25] Undang Undang No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan Lihat Pasal 7 (1) b

[26] Hartogh, G., Mutual expectations: a conventionalist theory of law, vol 56 (Springer 2002) hal 178

[27] Wehberg, H., ‘Pacta sunt servanda’ American Journal of International Law 775

[28] Hartogh, Mutual expectations: a conventionalist theory of law hal 178

[29] Misalnya Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor 356/IX/KIP-PS-M-A/2011 Yayasan Pusat Pengembangan Informasi Publik (YP2IP) vs Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) para 2.18 poin 7-8 dan 12; 3.17

[30] Daryanto, A., Jawaban Surat KRuHA (Letter No. 581/DIV.T&P/XI/2011 dated November 8 2011 on PAM JAYA's response to FoI Request by KRuHA) (PAM Jaya 2011)

[31] Lebih lengkapnya lihat Al'Afghani, ‘The Role of Legal Frameworks in Enabling Transparency in Water Utilities Regulation’ Bab 5

[32] Daryanto, Jawaban Surat KRuHA (Letter No. 581/DIV.T&P/XI/2011 dated November 8 2011 on PAM JAYA's response to FoI Request by KRuHA)

[33] Center for Public Procurement Policy Development, Model National Procurement Document (2007) Procurement of Works with Prequalification, General Conditions of Contract, clause 3.2 .

[34] Lihat juga peraturan pembukaan kontrak di Pemerintah Federal Australia Government Procurement Act 2001 (ACT) Part 3 http://www.legislation.act.gov.au/a/2001-28/current/pdf/2001-28.pdf serta di Negara Bagian New South Wales, lihat Freedom of Information Act 1981 (Nsw) s.15 A (Disclosure of government contracts with the private sector) http://www.legislation.nsw.gov.au/fullhtml/inforce/act+5+1989+cd+0+N#pt.2-sec.15a

[35] Bracks, S., Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement (2010) <http://www.growingvictoria.vic.gov.au/CA256D800027B102/Lookup/EnsuringProbityPolicy/$file/Open_pro.pdf> May 3, 2010

[36] Some of the contracts are available in the Victoria Government Contract Publishing System website http://www.old.tenders.vic.gov.au/CA256AEA00206A7D/webpages/PublicContractsFrameset?Open

[37] Department of Treasury & Finance (Victoria), FRD 12A Disclosure of Major Contracts (2005)

[38] Bracks, Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement

[39] Bracks, S., Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, Implementation Guidelines (2010) <http://www.growingvictoria.vic.gov.au/CA256D800027B102/Lookup/EnsuringProbityGuide/$file/Guide.pdf> May 3, 2010

[40] Bracks, Ensuring Openness and Probity in Victorian Government Contracts, A Policy Statement 41 para.26

[41] Ibid

[42] Ibid para 23

[43] Australian Government, National Public Private Partnership Guidelines, Volume 2: Practitioners’ Guide (2011) para 6.5.3.

[44] The Minister for Water of the State of Victoria and others, Victorian Desalination Project D&C Direct Deed (2009)

[45] Lihat Pearson, D.D.R., Managing the Requirements for Disclosing Private Sector Contracts (2010) <http://www.audit.vic.gov.au/pdf/20100623_Disclosures_Full_Report.pdf> November 10, 2010