“Read-Only” Politics, Dana Kampanye dan Audit Pemilu

 

Presentasi Lessig di postingan saya sebelumnya mengkritik praktek lobi dana kampanye di Amerika yang membuat politik menjadi – istilah Lessig – “read only”, tanpa partisipasi yang berarti.

Lessig punya solusi: dana kampanye harus didanai oleh publik, tidak lagi lewat korporasi korporasi dengan lobinya. Ide yang bagus sekali, karena dengan publik mendanai kampanye, “principal” dari politisi bukan lagi korporasi, melainkan publik.

Dana kampanye di Indonesia juga mendapat subsidi negara, dan ada pembatasan pemberian dana sumbangan. Tapi tetap banyak sumbangan-sumbangan tidak bisa di kontrol dan biaya politik secara keseluruhan sangat tinggi.

Saya kutip dari pidato Sri Mulyani:

Dan proses ini ternyata juga tidak murah dan mudah. Sudah banyak orang yang mengatakan untuk menjadi seorang jabatan eksekutif dari level kabupaten, kota, propinsi, membutuhkan biaya yang luar biasa, apalagi presiden pastinya. Dan biayanya sungguh sangat tidak bisa dibayangkan untuk suatu beban seseorang. Saya menteri keuangan saya biasa mengurusi ratusan triliun bahkan ribuan, tapi saya tidak kaget dengan angka. Tapi saya akan kaget kalau itu menjadi beban personal.

Seseorang akan menjadi kandidat mengeluarkan biaya sebesar itu. Kalkulasi mengenai return of investment saja tidak masuk. Bagaimana anda mengatakan dan waktu saya mengatakan sya lihat struktur gaji pejabat negara sungguh sangat tidak rasional. Dan kita pura-pura tidak boleh menaikkan karena kalau menaikkan kita dianggap mau mensejahterakan diri sebelum mensejahterakan rakyat. Sehingga muncullah anomali yang sangat tidak bisa dijelaskan oleh logika akal sehat, bahkan Rocky bilangnya ada akal miring. Saya mencoba sebagai pejabat negara untuk mengembalikan akal sehat dengan mengatakan strukturnya harus dibenahi lagi. Namun toh tetap tidak bisa menjelaskan suatu proses politik yang begitu sangat mahalnya.

Bagaimana cara mengatasinya? Mari sedikit brainstorming:

Pertama harus ada pembatasan dana kampanye dalam undang undang.

Kedua harus ada pembatasan dari segi suplai dan demand dana kampanye. Demand dana kampanye besar tentu berasal dari publik dan tidak mudah mengontrolnya. Perlu semacam Voter’s Education yang mengubah preferensi publik terhadap kandidat atau partai dari obyek material menjadi ideal/konseptual. Tapi melihat politik Indonesia yang primordial seperti ini, tentu tidak mudah.

Ketiga harus ada audit kampanye dengan insentif kepada auditor untuk memburu “over budgetting”. Setiap kampanye harus memiliki pembukuan dan pembukuan tersebut harus dilaporkan. Audit kampanye harus bisa melacak dana kampanye yang “off budget”.