UU Keterbukaan Informasi Publik dan Fragmentasi Kebijakan

Yang paling parah UU Pelayanan Publik. Kalau UU yang berhubungan dengan official secrecy atau pasar modal saya masih bisa paham, tapi pelayanan publik... Di konsideran, batang tubuh maupun penjelasan UU Pelayanan Publik samasekali tidak ada disebut UU KIP padahal dia lahirnya setahun setelah KIP lahir. Padahal sekarang ini pelayanan publik banyak diserahkan ke swasta lewat PPP, PSP dan segala macam bentuk contracting out. "The State is in Retreat", negara mundur dan fungsi fungsinya banyak diserahkan ke swasta. 

Menurut saya, euforia transparansi dan akuntabilitas di Indonesia masih sebatas kepada fungsi fungsi pemerintah dalam arti tradisional. Yang publik dan privat sekarang sudah blur, negara sedang mundur jadi sekadar wasit saja, oleh karenanya kaca pembesar teman teman aktivis juga seharusnya diarahkan ke sektor privat yang memiliki fungsi publik. Baik UU KIP maupun UU Pelayanan Publik keduanya tidak ada yang siap atas trend ini karena dikotomi publik privat dalam reformasi hukum kita masih konservatif. Begitu makhluknya 'hybrid2, bingung hukum administrasi negara kita.

Di banyak yurisdiksi lain, UU KIPnya sudah banyak menjawab tantangan ini. Dari mulai peraturan procurement sampai kebijakan akuntansi badan publik semuanya mengacu pada dan merefleksikan prinsip prinsip keterbukaan dalam UU KIP mereka. Bahkan ada audit transparansi khusus untuk kontrak kontrak pemerintah. Kalau di Indonesia reformasi hukumnya selalu sektoral dan terfragmentasi. Salah satu kesimpulan riset saya adalah UU KIP tidak bisa bekerja tanpa integrasi antar sektor dan tanpa interaksi antara peraturan keterbukaan 'aktif' dan 'pasif'. 

UU KIP hanya baik dalam mewajibkan keterbukaan secara pasif, lewat hak "akses", tetapi tidak secara aktif. Passive disclosure rule itu hanya ibarat senter di ruangan gelap, tetapi dia tidak memberitahukan apa yang seharusnya dicari. It is useless to have a flashlight if you don't know what you are looking for. Nah, peraturan keterbukaan aktif berlaku sebaliknya, dia memberi tahu apa yang perlu dicari. Peraturan ini sektoral sifatnya, karena informasinya kontekstual. Informasi yang dibutuhkan publik dalam pelayanan air beda dengan konteks energi atau ketenagalistrikan atau dengan informasi yang dibutuhkan publik dalam sistem peradilan misalnya. 

Jadi apakah dengan UU KIP yang kuat saja kita bisa transparan? Absolutely not. It's a useless flashlight. Dan yang disenter cuma pemerintah pula, padahal fungsinya sudah banyak di transfer ke swasta. 

Pidana pembocoran rahasia

Perbedaan perumusan pidana dalam perundang-undangan yang dihasilkan pada 2011 tampak jelas pada perbuatan membocorkan rahasia. Prinsipnya setiap orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia. 

Pasal 44 UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mengancam setiap orang membocorkan, mencuri, atau membuka rahasia intelijen hukuman maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp500 juta. 

Bandingkan dengan Pasal 73A UU No 10 Tahun 2011 mengenai Perdagangan Berjangka Komoditi. Diancam pidana setiap pihak yang tidak menjamin kerahasiaan informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha anggota bursa berjangka, atau tidak menjamin kerahasiaan data dan informasi mengenai nasabah, klien atau peserta Sentra Dana Berjangka. Kali ini Undang-Undang menggunakan model pemidanaan minimum dan maksimum. Pelaku diancam penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun, dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp4 miliar. Dari sisi ini tampak ada perbedaan model pemidanaan. 

Tindak pidana berkaitan dengan informasi juga tercantum dalam UU No 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Pasal 82 Wet ini mengancam pidana setiap orang yang secara melawan hukum mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana. Ancaman pidananya maksimum dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. 

Ancaman lain bisa ditemukan pada UU Keimigrasian. Pasal 133 huruf b mengancam pidana pejabat imigrasi yang dengan sengaja membocorkan data keimigrasian yang bersifat rahasia kepada pihak yang tidak berhak. Ancamannya hanya berupa pidana penjara maksimum lima tahun. 

Dari model-model perumusan pidana tersebut tampak jelas betapa tidak terkoordinasinya pencantuman pasal pidana dalam undang-undang. Semakin jelas pula jika kita bandingkan dengan aturan lain yang disahkan sebelumnya seperti UU No 14 Tahun 1998 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

 

 

Yasin