Incoherence in the debate over ‘privatisation’
Does Regulation by Contract Decreases Transparency? Comparing Jakarta, Victoria and England Water Services Sector
This paper compares transparency of water utilities regulation in England and Victoria where regulation by agency is employed and Jakarta which uses regulation by contract. Transparency is categorized into active and passive disclosure. The former uses publication of contract, service level/customer service and investment planning as a proxy for transparency whereas the latter measure transparency using the applicability of freedom of information law. The result is that transparency is lacking in Jakarta where regulation by contract is employed. In Jakarta, contracts are not published, service level/customer service information not available to the public and investment planning process only negotiated bilaterally without any public involvement. In terms of passive disclosure rules, the Freedom of Information Law is also not applicable to regulatory body in Jakarta (JWSRB). Conversely, contracts are published in Victoria. In both Victoria and England, service level/customer service information is published as they are part of public document and investment planning process is open and transparent. The Freedom of Information Law is also applicable to regulatory bodies in Victoria (ESC) and England (OFWAT).
Paper saya menguji hipotesis yang menyatakan bawah regulation by contract tidak transparan apabila dibandingkan dengan regulation by agency (Untuk diskusi tipe tipe regulasi, silahkan klik disini). Papernya sedang dimasukkan ke salah satu Jurnal. Apabila diterima, versi Working Papers yang ada di SSRN ini mungkin harus di-remove. Silahkan download apabila tertarik. Klik disini untuk mendownload.
Informasi yang dimiliki badan badan publik secara pararel
"Informasi Publik" itu sebenarnya ada 2. Informasi publik yang terbuka dan yang dikecualikan. Pasal 2 ayat 1 bilang Informasi Publik bersifat terbuka dst... cuman ada "tapi" nya, yakni Pasal 2 ayat 4 yaitu "Informasi Publik yang dikecualikan" yang mana tidak bersifat "terbuka" melainkan "rahasia". Jadi pasal 2 ayat 4 adalah pengecualian dari pasal 2 ayat 1.
Lalu ada lagi Pasal 4(2)(d) yang berbunyi: Setiap Orang berhak: melihat dan megetahui informasi publik .... menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan. Tentu asumsi saya, yang berhak dilihat dan disebarluaskan adalah Informasi Publik yang terbuka (pasal 2 ayat 1), bukan informasi publik yg dikecualikan berdasarkan pasal 2 ayat 4.
Lalu ada Pasal 11 ayat (2): Informasi Publik yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme
keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 dinyatakan sebagai Informasi Publik yang dapat diakses oleh Pengguna Informasi Publik.
Pertanyaan saya: Kalau Informasi Publiknya tidak didapatkan lewat keberatan/penyelesaian sengketa, apakah artinya "terbuka" juga?. Bisa dijawab "iya", dasarnya Pasal 2 ayat 1 diatas. Eit tapi tunggu dulu, kan pasal itu dikecualikan oleh Pasal 2 ayat 4. Kalau tidak ada keberatan atau sengketa kita kan tidak tahu Informasi itu termasuk yang terbuka versi Pasal 2 ayat 1 atau dikecualikan versi Pasal 2 ayat 4. Bagaimana kalau ada yang meminta meminta satu Informasi Publik yang sama di dua badan publik berbeda.
Contoh kasus, misalnya, saya minta catatan kesehatan SBY di Dinas Kesehatan kampung dia lahir. Di kampung tempat dia lahir saya dikasih informasi, tapi ternyata ada orang lain meminta informasi itu di Kementrian Kesehatan dan itu termasuk informasi dikecualikan. Apakah saya berhak menyebarluaskan informasi yang saya peroleh tersebut, sementara belakangan saya ketahui bahwa informasi yang sama berada dalam sengketa?
Atau mungkin aturannya adalah begitu informasi diberikan (tanpa keberatan/sengketa) di sebuah badan publik maka Informasi Publik itu sudah otomatis terbuka statusnya di badan publik lain?
Permasalahan ini menurut saya terjadi karena definisi "Informasi Publik" yang rancu; karena ada 2 Informasi Publik: yang terbuka dan yang rahasia (dikecualikan). Rancunya adalah koq bisa ada informasi yang "Publik" tapi "rahasia" alias tidak publik.
Le Duo Italian Restaurant (Phnom Penh)
Sent from my BlackBerry® smartphone from hello. You want one too? www.hello.com.kh
Mamak's Corner, a Malaysian Restaurant in Phnom Penh
View Phnom Penh in a larger map
So, have fun with Nasi Lemak! They've got this sambal petai sometimes, imported from Malaysia.
We now live in a nation where...
Ya... diambil saja hikmahnya :))
Undang Undang “Keterbukaan” Informasi Publik. Memangnya ada informasi publik yang tidak publik (terbuka)?
Salah satu arti dari “publik” adalah terbuka:
- pub·lic
- Of or concerning the people as a whole
- - public concern
- - public affairs
- Open to or shared by all the people of an area or country
- - a public library
- Of or provided by the government rather than an independent, commercial company
- - public spending
- Of or involved in the affairs of the community, esp. in government
- - his public career was destroyed by tenacious reporters
- Known to many people; famous
- - a public figure
- Done, perceived, or existing in open view
- - he wanted a public apology in the Wall Street Journal
- - we should talk somewhere less public
- Of, for, or acting for a university
- - public examination results
adjective /ˈpəblik/
Sama seperti ketika kita bicara badan publik, ruang publik, rahasia publik, barang publik. Lawan dari publik adalah privat.
Posisi UU 14/2008 – pada ayat 1 pasal dibawah juga sebenarnya demikian:
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan
cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
(4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang,
kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang
timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah
dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi
kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Yang menjadi masalah adalah karena terdapat pembedaan antara informasi publik “yang bersifat terbuka” dan informasi publik yang dikecualikan (alias bersifat tertutup). Ini sebenarnya misnomer, karena pengertian publik adalah “terbuka”.
Apabila kata publik dalam UU 14/2008 diganti “terbuka” maka judul UU nya menjadi:
UU 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Terbuka
Yang mana adalah rancu.
Atau kalau Judul UU 14/2008 diterjemahkan kedalam Bahasa Inggris:
Law on the Openness of Public Information.
You mean, there is “public” information which is not “public”?
Kerancuan ini terjadi akibat UU 14/2008 memberikan pembedaan definisi antara “Informasi” dan “Informasi Publik":
Pasal 1
1. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung
nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat,
didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik.
2. Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau
diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan
penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik
lainnya yang sesuai dengan Undang Undang ini serta informasi lain yang berkaitan
dengan kepentingan publik.
Seharusnya UU 14 tidak perlu memberikan definisi dan pembedaan demikian. Ini alasannya mengapa di negara lain, judul Undang Undangnya adalah seperti ini:
1. Inggris: Freedom of Information Act, Environmental Information Regulation
2. Amerika: Freedom of Information Act
3. India: Right to Information Act
4. South Africa: Promotion of Access to Information Act
5. Konvensi Aarhus: Convention on Access to Information, Public Participation in Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters
Yang penting dari sebuah UU kebebasan informasi adalah perlindungan terhadap akses informasi yang berada dalam kekuasaan badan publik. Informasi yang berada dalam kekuasaan badan publik tersebut sejatinya bisa bersifat publik maupun bersifat privat. Misalnya, informasi tentang wasiat dan informasi tentang kesehatan seseorang sejatinya adalah informasi privat, karena menyangkut hak privasi seseorang.
Pasal 17:
g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat
pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang;
h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik
dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu:
1. riwayat dan kondisi anggota keluarga;
2. riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang;
3. kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang;
4. hasilhasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi
kemampuan seseorang; dan/atau
5. catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan
pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal.
i. memorandum atau suratsurat antar Badan Publik atau
Kalau saya menyimpan wasiat atau sebuah rumah sakit pemerintah menyimpan rekam medis saya, itu sejatinya jelas bukan informasi publik. Jadi UU 14/2008 tidak bijak karena telah mem-fait accompli informasi informasi tersebut sebagai informasi publik – hanya karena definisi informasi publik dalam Pasal 1 ayat 2 diatas yang membuat definisi informasi publik menjadi tergantung pada badan publik.
Informasi tersebut diatas bisa menjadi informasi “publik” apabila ada kepentingan publik yang menghendaki – ini dilakukan lewat harm test dan public interest test.
Kerancuan yang akan timbul di praktek adalah sebagaimana dipertanyakan oleh bung Pius, perihal "Informasi Publik Yang Telah Dinyatakan Terbuka” (Lihat Pasal 11 ayat 2) dan Informasi Publik Yang Tertutup. Kategori yang terakhir ini sebenarnya tidak ada dalam batang tubuh Undang Undang, tetapi ada dalam penjelasan Pasal 2 ayat 4:
Suatu Informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik yang lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu Informasi, Informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya.
Jadi memang, dalam UU 14/2008 dikenal Informasi Publik Yang Terbuka dan Informasi Publik Yang Tertutup. Informasi Publik yang tertutup terjemahan bahasa Inggrisnya: Non-Public Public Information. Rancu bukan?
Hat Tip: Bung Pius Widiyatmoko
Night dance in a phnom penh park
Tentang berdoa meminta “yang spesifik” versus meminta “yang terbaik”
Ketika orang berdoa, biasanya orang menghindari berdoa yang isinya terlalu spesifik, karena mereka tidak tahu apakah permintaannya itu “yang terbaik” bagi diri mereka. Kalaupun permintaan spesifik itu dikabulkan Tuhan, mungkin ada konsekuensi konsekuensi negatifnya. Misalnya ada anak kecil minta sepeda, mungkin setelah dapat sepeda nanti dia terjatuh. Maka dari itu banyak orang hanya berdoa minta yang terbaik saja menurut Tuhan. Yang terbaik buat Tuhan belum tentu yang terbaik buat manusia. “Strategi” doa jadinya meminta sesuatu yang abstrak dan umum, bukan yang spesifik dan konkret.
Sebenarnya, ada permasalahan etis dan teologis dari fenomena ini. Permasalahan etisnya adalah, sebagaimana dilontarkan Socrates berabad abad lalu: Sesuatu itu baik karena menurut Tuhan baik, ataukah sesuatu itu baik karena hal itu memang esensinya baik sehingga Tuhan menganggapnya baik? Ini dikenal sebagai Euthyphro dilemma. Kalau sesuatu itu baik karena perintah Tuhan, maka anda tidak punya kehendak bebas.
Contoh lain adalah ketika anda mengunjungi kerabat yang sakit. Apakah anda akan berdoa agar dia diberikan kesembuhan, atau anda akan berdoa agar diberikan “yang terbaik”, apapun itu? Mungkin ada orang yang menjawab: tergantung penyakitnya. Tapi jawaban itu tidak relevan. Tidak mungkin kan anda menjenguk orang sakit pilek kemudian – alih alih mendoakan kesembuhan-- malah mendoakan “yang terbaik”, karena mungkin kalau dia hidup dia akan korupsi, jadi preman atau berandalan atau pembunuh?
Permasalahan kedua adalah teologis dan berhubungan dengan Omnisiensi dan Omnipotensi Tuhan. Katakanlah anda ingin sepeda, tapi kemudian anda mengurungkan niat anda untuk berdoa meminta sepeda, karena mungkin ketika dapat sepeda anda jadi anak nakal dan berandalan. Maka anda berdoa untuk diberikan yang menurut Tuhan “yang terbaik” saja, apapun itu.
Terhadap permasalahan ini, kenapa tidak berdoa dua kali? Pertama, berdoa secara spesifik, katakanlah minta diberikan sepeda. Kedua, berdoa agar doa pertama tadi adalah “yang terbaik”. Karena Tuhan itu maha kuasa (omnipoten) maka dia mampu mengabulkan permintaan anda dan permintaan spesifik itu adalah yang terbaik. Jadi kalau anda ingin sepeda, kenapa tidak minta sepedanya dan kemudian mintalah bahwa itu yang terbaik, anda tidak jatuh, tidak jadi berandalan dan sebagainya. Kalau Tuhan omnipoten, maka segala permintaan anda akan dikabulkan.
Poin saya adalah bahwa kita, manusia, memiliki konsepsi tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Tentu pengetahuan kita terbatas dan konsepsi kita tidak sempurna. Inilah alasannya kenapa konsepsi baik-buruk kita harus selalu diperbaiki secara konstan. Jatuh dari sepeda, jadi berandalan dan pembunuh adalah “tidak baik”. Kalau kita menyerahkan konsepsi baik-buruk kepada entitas lain, maka kita tidak kritis terhadap konsepsi kita sendiri. Dalam arti kata lain, anda jadi tidak tahu apa yang baik dan apa yang buruk.
Sebenarnya, orang tidak suka berdoa yang spesifik karena dua alasan:
- Pertama, karena takut kecewa doanya tidak dikabulkan. Makanya orang cenderung berdoa yang umum umum saja.
- Kedua, supaya bisa meyakinkan diri sendiri bahwa kondisi alternatif tersebut (yang terjadi akibat tidak dikabulkannya doa) merupakan “yang terbaik” sehingga orang tersebut akan tetap termotivasi dalam menjalankan hidupnya.
Yang terakhir ini sebenarnya ada landasan ilmiahnya, yang disebut Daniel Gilbert sebagai “Synthetic Happiness”. Gilbert juga menganggap bahwa pilihan dan kehendak bebas dalam banyak hal merupakan kutukan. Tetapi saya tidak 100 persen setuju dengan kesimpulan Gilbert dan saya rasa ada cara lain untuk menghadirkan synthetic happiness tanpa harus mengkompromikan konsepsi kita tentang baik-buruk. Ini kita bahas lain waktu saja…