Ketika orang berdoa, biasanya orang menghindari berdoa yang isinya terlalu spesifik, karena mereka tidak tahu apakah permintaannya itu “yang terbaik” bagi diri mereka. Kalaupun permintaan spesifik itu dikabulkan Tuhan, mungkin ada konsekuensi konsekuensi negatifnya. Misalnya ada anak kecil minta sepeda, mungkin setelah dapat sepeda nanti dia terjatuh. Maka dari itu banyak orang hanya berdoa minta yang terbaik saja menurut Tuhan. Yang terbaik buat Tuhan belum tentu yang terbaik buat manusia. “Strategi” doa jadinya meminta sesuatu yang abstrak dan umum, bukan yang spesifik dan konkret.
Sebenarnya, ada permasalahan etis dan teologis dari fenomena ini. Permasalahan etisnya adalah, sebagaimana dilontarkan Socrates berabad abad lalu: Sesuatu itu baik karena menurut Tuhan baik, ataukah sesuatu itu baik karena hal itu memang esensinya baik sehingga Tuhan menganggapnya baik? Ini dikenal sebagai Euthyphro dilemma. Kalau sesuatu itu baik karena perintah Tuhan, maka anda tidak punya kehendak bebas.
Contoh lain adalah ketika anda mengunjungi kerabat yang sakit. Apakah anda akan berdoa agar dia diberikan kesembuhan, atau anda akan berdoa agar diberikan “yang terbaik”, apapun itu? Mungkin ada orang yang menjawab: tergantung penyakitnya. Tapi jawaban itu tidak relevan. Tidak mungkin kan anda menjenguk orang sakit pilek kemudian – alih alih mendoakan kesembuhan-- malah mendoakan “yang terbaik”, karena mungkin kalau dia hidup dia akan korupsi, jadi preman atau berandalan atau pembunuh?
Permasalahan kedua adalah teologis dan berhubungan dengan Omnisiensi dan Omnipotensi Tuhan. Katakanlah anda ingin sepeda, tapi kemudian anda mengurungkan niat anda untuk berdoa meminta sepeda, karena mungkin ketika dapat sepeda anda jadi anak nakal dan berandalan. Maka anda berdoa untuk diberikan yang menurut Tuhan “yang terbaik” saja, apapun itu.
Terhadap permasalahan ini, kenapa tidak berdoa dua kali? Pertama, berdoa secara spesifik, katakanlah minta diberikan sepeda. Kedua, berdoa agar doa pertama tadi adalah “yang terbaik”. Karena Tuhan itu maha kuasa (omnipoten) maka dia mampu mengabulkan permintaan anda dan permintaan spesifik itu adalah yang terbaik. Jadi kalau anda ingin sepeda, kenapa tidak minta sepedanya dan kemudian mintalah bahwa itu yang terbaik, anda tidak jatuh, tidak jadi berandalan dan sebagainya. Kalau Tuhan omnipoten, maka segala permintaan anda akan dikabulkan.
Poin saya adalah bahwa kita, manusia, memiliki konsepsi tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Tentu pengetahuan kita terbatas dan konsepsi kita tidak sempurna. Inilah alasannya kenapa konsepsi baik-buruk kita harus selalu diperbaiki secara konstan. Jatuh dari sepeda, jadi berandalan dan pembunuh adalah “tidak baik”. Kalau kita menyerahkan konsepsi baik-buruk kepada entitas lain, maka kita tidak kritis terhadap konsepsi kita sendiri. Dalam arti kata lain, anda jadi tidak tahu apa yang baik dan apa yang buruk.
Sebenarnya, orang tidak suka berdoa yang spesifik karena dua alasan:
- Pertama, karena takut kecewa doanya tidak dikabulkan. Makanya orang cenderung berdoa yang umum umum saja.
- Kedua, supaya bisa meyakinkan diri sendiri bahwa kondisi alternatif tersebut (yang terjadi akibat tidak dikabulkannya doa) merupakan “yang terbaik” sehingga orang tersebut akan tetap termotivasi dalam menjalankan hidupnya.
Yang terakhir ini sebenarnya ada landasan ilmiahnya, yang disebut Daniel Gilbert sebagai “Synthetic Happiness”. Gilbert juga menganggap bahwa pilihan dan kehendak bebas dalam banyak hal merupakan kutukan. Tetapi saya tidak 100 persen setuju dengan kesimpulan Gilbert dan saya rasa ada cara lain untuk menghadirkan synthetic happiness tanpa harus mengkompromikan konsepsi kita tentang baik-buruk. Ini kita bahas lain waktu saja…