Uji konsekuensi di UU KIP
Soekarno Hatta's brand new Terminal 3 (Air Asia)
There are some cafes and restaurant at the ground floor, but they are closed at dawn. There are more shops and cafes including starbucks on the upper level. I detect some wireless signal, but unable to locate power sockets.
The security check is located right after the immigration check, and there are no more restaurant/shops/cafes beyond that. This has some implications:
1. This is your last chance to eat and drink before entering the boarding gate.
2. No liquid is allowed to pass through the security check. Thirsty? Buy your drinks on plane! I don't see any drink water tap around. (Yeah, tricky huh!)
3. There are occasional bottlenecks on security gates as there are only 4 immigration booths and 2 security gates. If you decide to stop for a food, calculate the line-up time.
Attention ALL Researchers, Google Scholars Citation Profile is Open to All!
Quickly sign up! A very important and a must have research tool, the Google Scholars Citation records every articles that cites yours. Google also calculate your h-index and your i-10 index.
According to Google, The Google Scholars Citation Profile:
- Track citations to your publications: Check who is citing your publications. Graph your citations over time. Compute citation metrics.
- View publications by colleagues: Keep up with their work. See their citation metrics.
- Appear in Google Scholar search results: Create a public profile that can appear in Google Scholar when someone searches for your name.
2. Insert your articles as indexed by Google Scholar. I must admit that not all of my articles are indexed by Google.
3. Select if you wish to add auto list to your profile.
4. And…. upload your pic! There you can see your H-Index. I am a bit shy with my H-Index
But, there is a defence: I know for sure that citation in edited books do not generally get computed with Google’s H-Index. Articles which are not in the public domain may also fall outside Google’s radar. Hence, in order to enlarge your H-Index, ask permission from your publisher to put it online!
The show is over (Mall menjelang tutup)
Hari ini saya meeting di 3 mal. Yang terakhir di senayan city.
Di postingan lalu saya menjelaskan soal eskapologi mall. Mall adalah sarana orang untuk melarikan diri dari penatnya kehidupan (ceritanya...).
Yang tertarik untuk diamati adalah 'artifisialitas' dalam fenomena mall mall di Jakarta. Artifisialitas ini tertuang terutama dalam arsitektur dan dekorasi interior mall. Tujuan dari artifisialitas ini adalah untuk menciptakan sebuah simulacrum, pemisah antara dunia khayali dengan yang nyata, yakni antara jalanan jakarta yang berdebu dan macet dengan segala kemiskinannya dengan mall yang sejuk, megah dan bersih.
Tapi semua simulacrum pasti ada akhirnya. Di mall, akhir itu adalah ketika waktunya tiba untuk tutup. Para pekerjanya pun harus pulang ke kos kosannya yang berukuran 1x3 meter yang mungkin udaranya tidak sesejuk di mall. Ini adalah waktunya untuk kembali kepada realitas.
Ibarat teater, sekarang adalah waktunya menggulung layar dan membersihkan dekor. Segala gemerlap mall pudar bersama matinya cahaya neon. Yang tersisa adalah bangunan besar dan gelap, tak bermakna.
The show is over for today.
See also:
ToR dan Proposal Nimbrung di Ciliwung
Untuk teman teman yang mencintai sungai, mungkin tertarik ikut acara ini:
Global Panel: The Human Rights Perspective on the Water, Energy and Food security Nexus Participate Online! Live Stream on 16th of November from 10:00 – 11:00 (UTC/GMT +1 hour)
Refleksi atas Mal Mal di Jakarta: ‘Social Exclusion’ dan Emisi Karbon
Kemarin baru jalan jalan ke PP. Sebenarnya sudah pernah kesana sebelumnya tapi tidak pernah mengamati secara mendalam. Kali ini saya menyadari bahwa ideologi eskapisme juga hadir disana.
(Salah satu pojok di PP: Mercusuar-mercusuaran, kapal-kapalan. Semuanya artifisial)
Salah satu simulacrum unik di Jakarta yang sering saya pikirkan adalah GI. Itu mal betul betul istana kardus kalau di cerita Mahabharata. Di dalamnya ada lampu taman, jembatan, bangku dan jalanan konblok gaya eropa, tapi ironisnya, adanya di dalam ruangan. Jembatannya jembatan jembatanan. Bangkunya juga bukan bangku fungsional yang kita di eropa biasa pakai duduk duduk waktu musim panas sambil menikmati matahari, wong udaranya dingin kering AC -- tapi sekadar bangku supaya seakan akan kita berada di tempat selain Jakarta. Sementara, kalau kita beranjak sedikit ke jendela, akan kelihatan wajah Jakarta yang sebenarnya, pemukiman kumuh, jalanan macet, kebisingan dan sesaknya udara akibat knalpot kendaraan.
(Salah satu pojok di GI: Pohon, Air Mancur, Bangku Taman, semua di dalam ruangan beratap)
Bagi saya GI (juga Ciwalk di Bandung dan Citos dsb) adalah fenomena hiperrealitas. Didalamnya ada representasi keinginan represif (atau infantil) warga kota untuk menikmati ruang publik ditambah dengan keinginan untuk melarikan diri dari penatnya kehidupan Jakarta. Tapi apabila ruang publik di eropah, Turki dan Phnom Penh adalah simbol kesetaraan -- semua orang bisa tidur di bangku taman dan menikmati matahari -- di Jakarta, ruang ruang simulacrum seperti ini ironisnya adalah simbol ketidaksetaraan. Gembel dan pedagang asongan -- walaupun tidak ada aturan tertulis -- tentunya tidak akan bisa masuk dan menikmati istana kardus di GI atau PP. Dan mereka yang mampu untuk masuk dan menikmati pun sebenarnya teralienasi, teralineasi dari kenyataan luar yang sebenarnya. Jadilah kota kota di Indonesia masyarakatnya serba teralienasi. Di Jakarta, dari berangkat pagi sampai pulang ke rumah ada jarak antara yang kaya dan yang miskin, mereka tidak pernah benar benar bertemu.
- Mal mal di Jakarta punya prinsip 2G: Glamour dan Grandiosity.
- Externalitas negatif mal mal di Jakarta setidaknya ada 2: “Social Exclusion” dan Emisi Karbon.
- Kalau masuk mal, sulit membedakan siang dengan malam. Kita jadi terputus dengan waktu dan realitas alam.
- Didalam mal, segala sesuatunya di komodifikasi, termasuk senyum dan ucapan terima kasih.
Bandingkan dengan ruang publik di negara-negara lain: