The agnostic and wallahu'alam

This all starts from @nadirsyah tweets on 'humility' which I responded with the following:

@movanet: An agnostic was asked: Does God exists?He answered: wallahu'alam :) #mvqt RT @nadirsyah: Ungkapan wallahua'lam juga indikasi kerendahan hati

Twitter Link: http://twitter.com/movanet/statuses/162374826357559296


A bit of cultural background: "wallahu'alam" is a popular expression among muslim communities. It roughly means: only god knows. However, because it is so popular among predominantly muslim communities, even in those whose mother tounge and working language are not arabic, it becomes so common and also spoken by non muslims. People also tend to forgot that there is the word 'god' in there.

So the above joke have multiple meanings:

1. The agnost didn't realize that there is the word god. He equates the expression with "I don't know".
2. Agnosticism, in itself, embodies humility, which is also represented in the expression "wallahu'alam". Except that the term is imprecise because it introduces god as an agent, which runs counter to the agnost's belief system. Thus, for an agnostic, to say "wallahu'alam" is oxymoronic.
3. The agnostic is trying to say "I don't know". But since it would be politically incorrect to say so in a predominantly muslim community, he uses such term, realizing that there is god element in it.
4. The agnostic is trying to say: I don't know, but if god exist, then he would know (the he exist), but I don't know.
5. The agnostic is teasing his counterpart: if we are told to be humble and embraces humility, should we not practice it even to the very basic tenet of the religion: that which discusses the existence of god?

Sent from my BlackBerry® smartphone from hello. You want one too? www.hello.com.kh

Re: Hasil diskusi FOI Network 5 Januari pkl 16.00

Guys, 

Saya agak bingung soal pembagian informasi publik dan privat, mungkin ada yang berkenan menjelaskan:

1. Dalam hal ini akan terjadi situasi: dalam badan publik terdapat informasi privat, dan juga sebaliknya dalam badan privat terdapat informasi publik. 

Setahu saya, apabila Badan Publik menerima informasi (misalnya Rumah Sakit memegang data medis -- yang rahasia menurut UU Rekam Medis, atau Dinas Perpajakan menerima laporan Pajak, atau Dinas LH menerima laporan polusi atau Departemen Kehakiman menerima data perusahaan), semua informasi dari sektor "privat" ini tetap disebut "Informasi Publik" berdasarkan definisi UU KIP Pasal 1 ayat 2.

2. ketertutupan informasi privat bersifat absolut dan tidak bisa diuji melalui public interest test. Informasi jenis ini hanya dapat dibuka melalui mandat UU dan upaya consequential harm test.

Setahu saya uji kepentingan publik dan uji consequential harm dalam UU KIP bersifat berlaku ke setiap pengecualian. Beda dengan yurisdiksi lain, UU KIP tidak menganut pengecualian absolut atau relatif. Kalau ini mau diubah maka Pasal 2 ayat 4 UU KIP dan tiap tiap ayat pengecualian adalam pasal 17 harus diamandemen dan dibedakan balancing test nya. 


IMHO,

Mova



 

Diskusi yang dimulai sekitar pukul 4 sore itu mengambil topik: pengecualian informasi.

+ uu kip ternyata belum menjadi payung hukum atau cross cutting issue bagi peraturan perundangan lainnya. Di negara2 modern foi act telah menjadi konsideran dan warna bagi regulasi sektor2 yang beragam.
+ diskusi-diskusi putaran selanjutnya yang diadakan oleh FOI ini memang sudah seharusnya masuk ke level advance, pendalaman teknis dan empiris dari implementasi UU ini. Dan Budi diminta untuk melanjutkan penyusunan pedoman teknis dengan melibatkan FOI dalam wujud diskusi-diskusi seperti ini. Demikian pula dengan Eko.
+ pedoman teknis pengecualian yang sedang disusun oleh budi untuk Kominfo mesti juga berbasis pada kasus-kasus yang telah ditangani KIP sebagai contoh-contoh kasus menarik.
+ salah satu implikasi dari keberadaan UU KIP adalah dibutuhkannya aturan yang jelas terhadap informasi data pribadi. Dan saat ini sedang didorong usulan RUU Perlindungan Informasi Data Pribadi, yang sudah semestinya koheren dengan UU KIP.
+ informasi pribadi adalah satu isu penting dan harus didalamin dalam kerja-kerja FOI ke depan.
+ pada dasarnya informasi itu terbagi dua: informasi publik dan informasi pribadi, privat. Seperti ada barang atau badan publik dan barang/badan privat. Dalam hal ini akan terjadi situasi: dalam badan publik terdapat informasi privat, dan juga sebaliknya dalam badan privat terdapat informasi publik. Contohnya, BCA memiliki dokumen RDTRK tentang kawasan dimana setiap gedung bank itu berada. BCA adalah badan privat dan dokumen RDTRK itu informasi publik.
+pada prinsipnya, informasi publik bersifat terbuka kecuali yang dikecualikan. Sedangkan informasi privat adalah tertutup kecuali yang ditetapkan sebagai informasi terbuka. + ketertutupan informasi privat bersifat absolut dan tidak bisa diuji melalui public interest test. Informasi jenis ini hanya dapat dibuka melalui mandat UU dan upaya consequential harm test.
+ pengecualian informasi hanya akan menghasilkan dua hal: informasi publik yang dikecualikan dan informasi privat.
+ dalam hal pengecekan/klarifikasi tujuan, untuk informasi publik tidak tidak membutuhkan pernyataan tujuan. Pernyataan tujuan, yakni klarifikasi tujuan dari pemohon informasi dan tujuan badan publik untuk mengecualikan informasi yang dimohonkan, hanya penting saat dilakukan upaya pengecualian melalui consequential harm test. Namun yang harus digarisbawahi, kepentingan publik harus dilindungi dengan dikecualikannya informasi.
+ harus ditegaskan pula bahwa dokumen dan informasi adalah berbeda. Informasi bukan dokumen.

Untuk teman-teman yang hadir, mungkin dapat menambahkan soal three past test. 

UU Keterbukaan Informasi Publik dan Fragmentasi Kebijakan

Yang paling parah UU Pelayanan Publik. Kalau UU yang berhubungan dengan official secrecy atau pasar modal saya masih bisa paham, tapi pelayanan publik... Di konsideran, batang tubuh maupun penjelasan UU Pelayanan Publik samasekali tidak ada disebut UU KIP padahal dia lahirnya setahun setelah KIP lahir. Padahal sekarang ini pelayanan publik banyak diserahkan ke swasta lewat PPP, PSP dan segala macam bentuk contracting out. "The State is in Retreat", negara mundur dan fungsi fungsinya banyak diserahkan ke swasta. 

Menurut saya, euforia transparansi dan akuntabilitas di Indonesia masih sebatas kepada fungsi fungsi pemerintah dalam arti tradisional. Yang publik dan privat sekarang sudah blur, negara sedang mundur jadi sekadar wasit saja, oleh karenanya kaca pembesar teman teman aktivis juga seharusnya diarahkan ke sektor privat yang memiliki fungsi publik. Baik UU KIP maupun UU Pelayanan Publik keduanya tidak ada yang siap atas trend ini karena dikotomi publik privat dalam reformasi hukum kita masih konservatif. Begitu makhluknya 'hybrid2, bingung hukum administrasi negara kita.

Di banyak yurisdiksi lain, UU KIPnya sudah banyak menjawab tantangan ini. Dari mulai peraturan procurement sampai kebijakan akuntansi badan publik semuanya mengacu pada dan merefleksikan prinsip prinsip keterbukaan dalam UU KIP mereka. Bahkan ada audit transparansi khusus untuk kontrak kontrak pemerintah. Kalau di Indonesia reformasi hukumnya selalu sektoral dan terfragmentasi. Salah satu kesimpulan riset saya adalah UU KIP tidak bisa bekerja tanpa integrasi antar sektor dan tanpa interaksi antara peraturan keterbukaan 'aktif' dan 'pasif'. 

UU KIP hanya baik dalam mewajibkan keterbukaan secara pasif, lewat hak "akses", tetapi tidak secara aktif. Passive disclosure rule itu hanya ibarat senter di ruangan gelap, tetapi dia tidak memberitahukan apa yang seharusnya dicari. It is useless to have a flashlight if you don't know what you are looking for. Nah, peraturan keterbukaan aktif berlaku sebaliknya, dia memberi tahu apa yang perlu dicari. Peraturan ini sektoral sifatnya, karena informasinya kontekstual. Informasi yang dibutuhkan publik dalam pelayanan air beda dengan konteks energi atau ketenagalistrikan atau dengan informasi yang dibutuhkan publik dalam sistem peradilan misalnya. 

Jadi apakah dengan UU KIP yang kuat saja kita bisa transparan? Absolutely not. It's a useless flashlight. Dan yang disenter cuma pemerintah pula, padahal fungsinya sudah banyak di transfer ke swasta. 

Pidana pembocoran rahasia

Perbedaan perumusan pidana dalam perundang-undangan yang dihasilkan pada 2011 tampak jelas pada perbuatan membocorkan rahasia. Prinsipnya setiap orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia. 

Pasal 44 UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mengancam setiap orang membocorkan, mencuri, atau membuka rahasia intelijen hukuman maksimal 10 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp500 juta. 

Bandingkan dengan Pasal 73A UU No 10 Tahun 2011 mengenai Perdagangan Berjangka Komoditi. Diancam pidana setiap pihak yang tidak menjamin kerahasiaan informasi posisi keuangan serta kegiatan usaha anggota bursa berjangka, atau tidak menjamin kerahasiaan data dan informasi mengenai nasabah, klien atau peserta Sentra Dana Berjangka. Kali ini Undang-Undang menggunakan model pemidanaan minimum dan maksimum. Pelaku diancam penjara minimal satu tahun dan maksimal empat tahun, dan denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp4 miliar. Dari sisi ini tampak ada perbedaan model pemidanaan. 

Tindak pidana berkaitan dengan informasi juga tercantum dalam UU No 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Pasal 82 Wet ini mengancam pidana setiap orang yang secara melawan hukum mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana. Ancaman pidananya maksimum dua tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar. 

Ancaman lain bisa ditemukan pada UU Keimigrasian. Pasal 133 huruf b mengancam pidana pejabat imigrasi yang dengan sengaja membocorkan data keimigrasian yang bersifat rahasia kepada pihak yang tidak berhak. Ancamannya hanya berupa pidana penjara maksimum lima tahun. 

Dari model-model perumusan pidana tersebut tampak jelas betapa tidak terkoordinasinya pencantuman pasal pidana dalam undang-undang. Semakin jelas pula jika kita bandingkan dengan aturan lain yang disahkan sebelumnya seperti UU No 14 Tahun 1998 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

 

 

Yasin




Ini alasannya kenapa PDAM perlu independen


Mengapa PDAM perlu independen?

Jawaban pendek, kalau menurut saya ada 3 hal yang bisa dilakukan:

1. Perbaikan corporate governance PDAM
2. Regulasi independen
3. Akuntabilitas Kepala Daerah

Benar bahwa PDAM (dan semua BUMN/BUMD) sahamnya dipegang pemerintah, yang dalam hal ini diwakilkan oleh kepala daerah. Sama juga seperti PT swasta murni ada pemegang sahamnya dan pemegang sahamnya bisa memecat direksi lewat RUPS. Tapi kenapa pemerintah membuat P(erusahaan) DAM? (Istilahnya delegasi).  Kenapa tidak dijadikan departemen atau divisi saja dari Pemda? Jawabannya adalah karena dengan pemisahaan harta dan kekayaan dari APBD atau dengan membuat air minum menjadi entitas tersendiri maka independensi akan dicapai dan dengan independensi itu maka layanan air minum akan lebih bisa fokus dan efisien (teorinya). 

Corporate governance PDAM

Tapi sebenarnya, walau manajemenya di "delegasi"kan ke entitas lain dan pemerintah hanya bertindak sebagai pemilik, campur tangan pemerintah dalam menentukan urusan sehari hari PDAM bisa besar sekali. Ini bisa dibaca dari perda perda yang dijadikan statuta PDAM dan implementasinya bisa dilihat dari laporan keuangan (misalnya, ada sumbangan atau lain sebagainya untuk kepala daerah). Dengan demikian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menginsulir campur tangan yang tidak perlu dalam statuta PDAM.

Regulasi Independen

Langkah kedua adalah regulasi independen. Di Indonesia tarif ditetapkan oleh kepala daerah. Padahal tarif berhubungan dengan keputusan investasi. Untuk investasi kadang perlu tarif naik. Tapi tahun depan ada Pilkada, jadi kurang populer kalau tarif naik. Jadilah tarif naik ditunda, akibatnya pipa yang bocor bocor tidak diperbaiki. 

Atau kasus lain, misalnya ada 2 daerah. Yang pertama pemukiman miskin dan gak mampu bayar air. Yang kedua mau dibangun mall/real estate dan perlu pasokan PDAM. Uang PDAM terbatas. Daerah kedua bukan saja mampu bayar biaya air, tapi juga mampu 'bayar' pak kepala daerah. Ke daerah manakah PDAM harus melebarkan jaringannya? Secara hukum, kita harus lihat siapa yang punya kewenangan memutuskan masalah investasi. Kalau kepala daerah punya veto di statutanya, berarti PDAMnya tidak independen, untuk itu harus dirubah corporate governancenya (paragraf atas). Kalau kepala daerah tidak punya veto, tapi dia bisa mengancam untuk memecat pimpinan PDAM, maka perlu regulasi independen. 

Artinya, sebaiknya ada badan regulator independen yang memutuskan persoalan investasi dan juga tarif berdasarkan business plan PDAM. Jadi kewenangan menetapkan tarif bukan lagi berada di kepala daerah, tetapi atas keputusan badan regulator. Demikian juga masalah investasi. 

Akuntabilitas Kepala Daerah atas PDAM

Cerita diatas berlanjut lagi. Walaupun sudah ada regulator independen dan corporate governance sudah cukup di ring fencing, tetap saja direkturnya di pecat. Lalu apa yang seharusnya dilakukan. Menurut saya, inilah peranan kepala daerah wajib memberikan akuntabilitas. Dia adalah perwakilan pemegang saham, dimana saham itu pada hakekatnya milik publik -- bukan milik pribadinya. Maka ketika dia melaksanakan kewenangan (kewenangan, bukan hak) yang berasal dari publik itu, dia harus mempertanggung jawabkannya kepada publik. Kenapa direkturnya dipecat? Apa alasannya? Ini yang bisa kita atur di statuta PDAM (dalam Perda pendiriannya). Kepala daerah harus memberikan jawaban kepada DPRD. Di statuta PDAM itu bisa diatur juga mekanisme pembelaan. Misalnya ketika direktur dipecat sebelum masanya selesai dan dia menolak, dia diberikan hak pembelaan di depan forum DPRD. Atau bisa juga diatur mekanisme veto, dimana pemecatan harus disertai persetujuan DPRD misalnya, tetapi ini terlalu jauh saya kira. 

Dengan adanya mekanisme akuntabilitas seperti ini, maka kepala daerah tidak bisa sewenang wenang memecat direktur PDAM, karena di belakangan hari dia harus menjelaskan kepada publik apa latar belakang dan pemikiran pemberhentiannya itu. Statuta PDAM juga bisa mengatur secara limitatif alasan alasan pemberhentian. Artinya, pemberhentian harus berada dalam alasan itu (tindakan kriminal, merugikan keuangan negara, sakit, dan sebagainya) tidak bisa diluar alasan alasan tersebut.


UN Watercourses Convention Symposium - Call for Papers

UNWC Global Initiative Symposium

Co-organised by IHP-HELP Centre for Water Law, Policy & Science (under
the auspices of UNESCO), University of Dundee and WWF

The 1997 UN Watercourses Convention – What Relevance in the 21st
Century?

5th-8th June 2012, University of Dundee, Scotland, UK

Call for Papers

In 1994 the UN General Assembly made the decision to elaborate a global
framework instrument on the law of the non-navigational uses of
international watercourses (UN General Assembly Resolution 49/52).  The
resultant Convention was adopted in 1997 by more than 100 nations. Since
the Convention's adoption over 14 years ago, there has been a
heightened recognition of the numerous challenges humanity faces in
securing water for all, and a widespread acceptance that governance
plays a key role.  However, the legal architecture for international
watercourses remains fragmented, and the UNWC has not yet entered into
force.

In recent years, a coalition of institutions under the general rubric
of the UNWC Global Initiative has come together to examine the
underlying reasons why the UNWC has not yet entered into force.
Additionally, the UNWC Global Initiative has sought to further knowledge
and understanding of the relevance of the UNWC in addressing the
contemporary pressures on the world's freshwater resources. As part of
the activities of the UNWC Global Initiative, the IHP-HELP Centre for
Water Law, Policy & Science in collaboration with WWF will be organising
a global symposium on the UNWC between 5th and 8th of June 2011.   The
aim of the symposium is to gather together a wide and diverse range of
experts from academia, government, international organisations, civil
society, etc, to debate the existing and potential relevance of this
global framework instrument.

Towards this endeavour the convenors of the symposium are inviting
experts to submit papers on a range of topics related to the UNWC.

Further details are available at
http://www.dundee.ac.uk/media/dundeewebsite/water/documents/2012_Dundee_Watercourses_Convention-Call_for_Papers.pdf


Is Time’s Person of the Year a Jihadi or an Arab Spring Protester? (Neither is right)

When I look at the recent cover of Time Magazine, the first thing that cross my mind is that it is a picture of an Arab spring protester, or an intifada, or a Jihadi. At the very least it depicts a woman wearing face veil and a headscarf. 

Well it’s not. This is the original picture taken by Ted Soqui:

 

The woman, identified as Sarah M (twitter), is an art worker and a member of the occupy LA movement. As Soqui wrote on his blog, she put on her bandana (with extra vinegar) to cover her face from possible teargas strike. Dailymail has a report on this.

So that’s not a Niqab she’s wearing, but a vinegary bandana, and a knit cap. But yeah, photoshop can indeed make it somewhat represent those in the middle east too.

See the photo sequence in full.

Phnom Penh Sore Hari

Sekitar Istana Raja, Sisowath Quay dan FCC